Jumat, 18 Maret 2011

thumbnail

Menjawab "Amin"

Saya seorang pelayan luarbiasa komuni suci. Dalam membagikan Komuni, saya tercengang atas berbagai jawaban berbeda yang disampaikan umat sebagai tanggapan atas perkataan “Tubuh Kristus”. Sebagian besar orang menjawab, “Amin,” tetapi sebagian lainnya menjawab, “Aku percaya.” Adakah hal itu merupakan masalah?
~ seorang pembaca di Great Falls


Jawab singkatnya adalah, “Ya, masalah.” Dalam Pedoman Umum Misale Romawi (2000), rubrik berikut sekali lagi dimaklumkan mengenai penerimaan komuni suci: “… Imam mengangkat sedikit dan menunjukkan Hosti kepada masing-masing orang yang menyambut sambil berkata: `Tubuh Kristus.' Masing-masing orang menjawab: `Amin,' lalu menyambutnya entah dengan lidah entah dengan tangan” (No. 161). Jawaban “Amin” yang sama juga dimandatkan apabila umat yang menyambut menerima Darah Mahasuci dari piala atau jika ia menerima Komuni Suci dengan pencelupan Hosti, yaitu imam mencelupkan Hosti Kudus ke dalam Darah Mahasuci dan meletakkan Sakreman di lidah mereka yang menyambut (lihat juga No. 286-7).

Karena peraturan pokok di atas, muncul pertanyaan mengapa kata “Amin” begitu penting? Kata “Amin” dalam bahasa Ibrani berarti, “sungguh-sungguh,” “benar” atau “memang benar demikian”. Dalam Kitab Suci, “Amin” merupakan suatu penegasan yang khidmat dan suatu seruan pembenaran. “Amin” merupakan bukan hanya suatu pernyataan tegas dan serius, melainkan juga suatu pernyataan otoritas dari dia yang membuat pernyataan tersebut.

Sebagai contoh, dalam Injil St Yohanes (6:53), Yesus mengatakan, “Amin, amin, Aku berkata kepadamu, jika kamu tidak makan daging Putra Manusia dan tidak minum DarahNya, kamu tidak memiliki hidup dalam dirimu.” Ayat tersebut dalam Kitab Suci terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, diterjemahkan sebagai, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya….” Di sini Tuhan dengan khidmad menekankan kebenaran dari apa yang Ia ajarkan.

Dalam Kitab Wahyu (3:14) Yesus mengidentifikasikan DiriNya sebagai “Amin”: “Inilah firman dari Amin, Saksi yang setia dan benar, permulaan dari ciptaan Allah” sebab Ia senantiasa setia akan Sabda-Nya. Di sini, kata “Amin” menekankan otoritas Tuhan kita sebab Ia adalah kebenaran.

Dan yang terakhir, dalam masa apostolik, kata “Amin” dipergunakan dalam liturgi sebagai tanggapan positif terhadap kebenaran keyakinan dan otoritas dengan mana keyakinan diajarkan.

Oleh sebab alasan-alasan di atas, sejak masa Gereja perdana, “Amin” senantiasa merupakan jawaban yang tepat dari umat yang menyambut Ekaristi Kudus. Sebagai contoh, St Yustinus Martir (wafat thn 165) dalam tulisannya “apologiƦ” (bab 65-66) mencatat bagaimana “Amin” merupakan tanggapan umat atas doa-doa dan puji syukur yang dipersembahkan imam dalam Doa Syukur Agung. “Amin” merupakan persetujuan umat bahwa Ekaristi Kudus adalah sungguh Tubuh dan Darah Kristus, bahwa imam memiliki otoritas untuk bertindak in persona Christi dalam merayakan Ekaristi, dan bahwa ajaran yang diwariskan oleh para rasul adalah sungguh ajaran Kristus. St Yustinus menulis, “Karena roti dan anggur ini - sesuai dengan satu ungkapan lama - di“ekaristi”kan, kita menamakan makanan ini ekaristi. Seorang pun tidak boleh mengambil bagian dalamnya, kecuali orang yang mengakui ajaran kita sebagai yang benar, telah menerima Pembaptisan untuk pengampunan dosa dan kelahiran kembali dan hidup sesuai dengan petunjuk Kristus. Sebab bukan sebagai makanan biasa ataupun minuman biasa kita menerima roti dan anggur ini; tetapi karena Yesus Kristus Juruselamat kita telah berinkarnasi oleh Sabda Allah dan telah memiliki baik daging dan darah demi keselamatan kita, maka juga, seperti telah diajarkan kepada kita, makanan yang telah diekaristikan oleh doa syukur agung yang ditetapkan oleh-Nya dan oleh perubahan yang dengannya darah dan daging kita dihidupi, adalah keduanya daging dan darah Yesus yang berinkarnasi itu.” Tanpa “Amin,” orang tidak boleh menerimanya.

St Agustinus (wafat thn 430) dalam tulisannya “Sermones” (No. 272) mengajarkan, “Kalau kamu Tubuh Kristus dan anggota-anggota-Nya, maka Sakramen yang adalah kamu sendiri, diletakkan di atas meja Tuhan; kamu menerima Sakramen, yang adalah kamu sendiri. Kamu menjawab atas apa yang kamu terima, dengan `Amin' [Ya, demikianlah] dan kamu menandatanganinya, dengan memberi jawaban atasnya. Kamu mendengar perkataan `Tubuh Kristus', dan kamu menjawab `Amin'. Jadilah anggota Kristus, supaya Aminmu itu benar” (seperti dikutip dalam Katekismus Gereja Katolik, No 1396).

Oleh sebab itu, kita wajib menyatakan “Amin” kita dengan keyakinan yang besar sebelum menyambut Ekaristi Kudus. Sungguh menyedihkan, sebagian orang memutuskan untuk mengubah tanggapannya menjadi “Aku percaya,” atau “Terima kasih,” atau “Ya, kami percaya” atau “Ya, saya.” Segala jawaban ini tidaklah tepat. Jika orang mengatakan, “Aku percaya,” apakah orang tersebut hanya percaya pada komuni kudus yang ia sambut, ataukah ia juga percaya pada Gereja semesta dan segala ajarannya seperti yang dimaksudkan oleh “Komuni”? Jika orang menjawab, “Terima kasih,” maka ia mengambil; tetapi apakah yang ia berikan? Jika orang menjawab, “Ya, kami percaya,” apakah yang dimaksudkannya adalah kelompoknya, jemaatnya, Gereja semesta atau konsepnya sendiri mengenai Gereja? Jika orang mengatakan “Ya, saya,” maka kita perlu menguncinya dalam tabernakel. Jawaban singkatnya adalah, “jawaban yang paling pantas, tepat dan satu-satunya yang sah saat menyambut Komuni Kudus adalah `Amin.'”. Amin.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Church in Potomac Falls.
sumber : “Straight Answers: Answering 'Amen'” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments