Jumat, 18 Maret 2011

thumbnail

Dalam Sebuah Gereja Katolik: apa yang ada di sana dan mengapa?

Mike mengajak teman perempuannya ikut Misa pada hari Minggu yang lalu, dan sesudahnya Mike mengatakan kepada saya, “Saya tidak akan pernah melakukannya lagi! Ashley bukan seorang Katolik dan ia memberondong saya dengan berbagai macam pertanyaan yang saya tidak tahu bagaimana menjawabnya, dan itu terjadi bahkan sebelum Misa dimulai! Gereja Katolik kita mempunyai begitu banyak hal yang tidak dimiliki gerejanya, dan ia ingin tahu barang-barang apa itu dan mengapa ada di sana.”

Dalam artikel ini, saya akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan Mike bagi kalian, kalau-kalau saja kalian menghadapi situasi yang sama. Atau mungkin kalian sendiri terkadang bertanya-tanya mengenai apa-apa yang kalian lihat dalam sebuah gereja Katolik.

Sebuah gereja Katolik tidak seperti tempat pertemuan yang luas lainnya, seumpama stadion olahraga atau ruang konser. Dalam sebuah gereja, tidak ada tempat bagi sekedar penonton.

Misa bukanlah sesuatu yang kita tonton, melainkan sesuatu yang kita lakukan. Keseluruhan gereja adalah “lapangan main” dan kalian adalah bagian dari timnya; keseluruhan gereja adalah “panggung” dan kalian adalah pemainnya. Kita berperan; Tuhan dimuliakan.


Mari Masuk

Yang pertama kalian lihat pada saat kalian memasuki pintu sebuah gereja Katolik adalah sebuah kolam air - air dengan mana kita dibaptis - sebab Pembaptisan adalah pintu masuk ke dalam Gereja. (Di sebagian gereja, sebuah bejana air suci di tiap-tiap pintu menggantikan kolam pembaptisan.)

Sementara memasuki pintu gereja, aku mencelupkan tanganku ke dalam air, membuat Tanda Salib dan memperbaharui janji-janji yang diucapkan orangtuaku atas namaku pada saat aku dibaptis. Dekat kolam pembaptisan, atau dekat bejana baptis, berdiri tegak sebuah lilin besar yang disebut Lilin Paskah. Pada awal perayaan Paskah kita setiap tahun, yakni pada Malam Paskah, kita menyalakan lilin ini untuk pertama kalinya. Terang dan teladan Kristus menghalau keraguan dan ketakutan kita sama seperti terang nyala lilin menghalau kegelapan.


Pada Malam Paskah, lilin paskah dicelupkan ke dalam air pembaptisan sementara kita berdoa agar Kristus datang dan hidup dalam Bunda Gereja seperti dalam rahim. Sama seperti kita dilahirkan dari rahim ibu kita, demikianlah sebagai umat Kristiani kita dilahirkan kembali dalam Pembaptisan.

Juga dalam area pembaptisan dalam gereja, kalian akan melihat sebuah ceruk di dinding atau sebuah lemari kecil yang disebut Sacrarium untuk menyimpan tiga bejana minyak: 1) minyak katekumen, dipergunakan untuk memberkati dan menguatkan mereka yang mempersiapkan diri untuk Pembaptisan; 2) minyak pengurapan orang sakit, dipergunakan imam untuk memulihkan dan menguatkan mereka yang sakit dalam Sakramen Pengurapan Orang Sakit; dan 3) minyak krisma, dipergunakan dalam Sakramen Baptis, Sakramen Krisma dan Sakramen Imamat.

Pengurapan dengan minyak memainkan peran penting dalam Gereja kita. Kata “Kristus” berasal dari kata Yunani yang berarti “Diurapi”. Ketika kita diurapi - dikristenkan - dengan minyak suci, hal itu merupakan suatu tanda akan hubungan istimewa kita dengan Kristus, Yang Diurapi.

Juga dalam area pembaptisan ini kalian akan melihat pintu yang menghantar ke sebuah kamar kecil yang dirancang untuk merayakan Sakramen Rekonsiliasi secara individual. Kamar pengakuan dosa ditempatkan di sini karena Sakramen Tobat bertumbuh dari Sakramen Baptis. Praktek pengakuan dosa muncul dari perlunya mendamaikan kembali umat Kristiani yang telah melalaikan atau mengabaikan janji-janji baptis mereka.


Tempat bagi Jemaat

Bergerak dari area pembaptisan masuk ke dalam gereja itu sendiri, kita mendapati diri berada dalam sebuah ruang terbuka yang luas, yang disebut Panti Umat.

Mengunjungi sebuah gereja yang kosong adalah bagaikan mengunjungi sebuah taman hiburan pada musim dingin. Kita dapat membayangkan seperti apa taman hiburan itu dengan lampu-lampu kemilau, musik menggema dan anak-anak berlarian di sekitarnya menerobos khalayak ramai yang bersuka ria, tetapi taman itu membutuhkan orang-orang agar tampak pas. Demikian juga, panti umat sebuah gereja membutuhkan banyak orang-orang - suatu kongregasi - agar tampak pas.

Panti Umat biasanya dipenuhi dengan bangku-bangku. Dalam bahasa Yunani “podion”, tempat di mana kaisar dan orang-orang terhormat lainnya duduk dalam sebuah arena.

Banyak nama-nama teknis barang yang kalian lihat dalam sebuah gereja, berasal dari kata-kata Yunani atau Latin, sebab itulah bahasa-bahasa yang dipergunakan umat Kristiani perdana ketika mereka menamai barang-barang itu. Di bagian akhir, kalian dapat belajar lebih banyak mengenai asal mula kata-kata ini.

Bangku-bangku dan tempat duduk permanen masuk ke dalam gereja kurang lebih bersamaan waktunya dengan ditemukannya mesin cetak. Orang mulai “berbaris” dalam bangku-bangku seperti mesin mencetak “barisan” kata-kata dalam sebuah halaman cetak. Pada masa Reformasi Protestan, bangku-bangku memungkinkan kongregasi untuk duduk dan mendengarkan khotbah, yang kerapkali berlangsung beberapa jam lamanya.

Pada masa sekarang, sebagian gereja memiliki tempat duduk yang fleksibel sebagai ganti bangku-bangku. Bangku-bangku permanen dapat membuat kita berpikir akan kongregasi sebagai sekelompok “pendengar” dalam sebuah auditorium (kata Latin “audire” berarti mendengarkan). Andai memang itu peran kita, maka kita akan menjadi sekedar pendengar daripada pelaku.

Pada abad ke-13, ketika umat Kristiani tidak lagi kerap menyambut Komuni Kudus dan puncak Misa adalah memandang Hosti Kudus daripada menyantapnya, kongregasi mulai berlutut di hadapan Sakramen Mahakudus sama seperti mereka biasa berlutut di hadapan seorang raja duniawi atau tuan mereka. Sejalan dengan semakin kerapnya praktek berlutut dalam gereja, maka mulailah muncul prie-dieu atau tempat berlutut. Pada masa sekarang, kalian akan mendapati tempat berlutut di sebagian besar gereja, meski postur tubuh yang lebih tradisional, yakni berdiri dalam bersembah bakti, menjadi semakin lebih umum dan sebagian gereja yang lebih baru dibangun tidak lagi memiliki tempat berlutut.

Berdiri adalah postur tubuh yang mengungkapkan hormat dan perhatian mendalam, sebagai peziarah jemaat siap untuk melaksanakan pesan Injil. Berdiri tidak saja menempatkan kita dalam persatuan dengan umat Katolik lainnya di seluruh dunia yang senantiasa merayakan Misa dengan berdiri, namun yang terlebih penting, doa-doa resmi mengandaikan jemaat yang berdiri: “Kami bersyukur sebab kami Engkau anggap layak menghadap Engkau dan berbakti kepada-Mu” (Doa Syukur Agung II).


Di Mana Tindak Kudus Dilakukan

Dari manapun kita berdiri dalam gereja, perhatian kita diarahkan ke Panti Imam, area utama di mana dilangsungkan tindak liturgis dan di mana ditempatkan ketiga perabot utama: kursi pemimpin, ambo dan meja altar.

Pada mulanya, area ini disebut sanctuarium, yang artinya kudus. Tetapi apabila istilah sanctuarium dipergunakan, kita wajib berhati-hati untuk tidak mengartikan bahwa hanya area ini saja yang kudus, sebab sungguh keseluruhan gereja adalah tempat yang kudus.

Tiap-tiap gereja mempunyai sebuah kursi pemimpin dan juga tempat duduk bagi para pelayan lainnya. Kursi pemimpin bukanlah sebuah tahta bagi seorang yang disendirikan, melainkan ditata sedemikian rupa hingga imam tampak sebagai anggota dari komunitas yang bersembah sujud, meski ia mempunyai tugas istimewa. Mimbar, yang disebut ambo, adalah tempat bagi Lectionarium atau Buku Bacaan Misa, yakni buku berisi bacaan-bacaan Misa dari Kitab Suci.

Altar adalah meja kudus di atas mana kita merayakan Perjamuan Tuhan. Altar berfungsi sekaligus sebagai meja perjamuan dan altar kurban; Misa adalah sekaligus Kamis Putih (perjamuan) dan Jumat Agung (kurban). Ketika Ekaristi dirayakan, sebuah kain altar atau taplak altar dihamparkan di atas meja altar. Kemudian, di atas altar ditempatkan roti dan anggur untuk Misa. Roti ditempatkan di atas patena dan anggur dituangkan ke dalam piala.


Busana Imam

Dalam Misa, imam mengenakan sebuah busana putih panjang yang disebut alba. Di atas alba, imam mengenakan sebuah busana yang lebih lebar, lebih berwarna-warni, yang disebut kasula. Pada masa kini, busana-busana ini tampak berbeda dari busana kita pada umumnya. Tetapi, pada mulanya tidaklah demikian. Alba dan kasula adalah busana sehari-hari yang dikenakan pada masa Greco-Romawi. Di rumah, baik laki-laki maupun perempuan mengenakan busana longgar yang panjang. Apabila bepergian ke tempat umum, mereka menutup alba ini dengan sehelai busana yang lebih meriah.

Apabila kalian ikut ambil bagian dalam Misa pada abad keempat di Roma, kalian akan mendapati pemimpin Misa berbusana kurang lebih sama dengan yang dikenakan para imam pada masa sekarang dalam Misa hari Minggu. Tetapi pada masa itu, bukan hanya imam saja, melainkan semua orang dalam gereja juga mengenakan alba dan kasula!


Mengikuti Terang

Dari sejak jaman para rasul, ketika anggota jemaat tidak dapat ikut ambil bagian dalam Misa hari Minggu karena sakit atau dalam penjara, sebagian dari roti dan anggur disimpan sesudah Komuni dan dihantarkan kepada anggota yang tidak dapat hadir ini. Ekaristi mulai disimpan agar dapat disambut sebagai viaticum pada saat menjelang ajal.

Tempat untuk menyimpan Hosti bagi mereka yang sakit dan di ambang ajal disebut tabernakel. Tabernakel juga seringkali kita dapati dalam Kapel Ekaristi, yakni kapel yang secara istimewa dirancang untuk menghormati Sakramen Mahakudus dan untuk mendorong doa dan devosi pribadi. Sebuah lilin atau Lampu Tuhan yang bernyala dekat tabernakel, secara tradisional memaklumkan kepada umat Katolik akan adanya Hosti yang telah dikonsekrasikan.

Lilin-lilin yang kita dapati dalam gereja dulunya sangat fungsional dan memberikan penerangan pada saat pembacaan Kitab Suci dan merayakan tindak kudus. Sekarang, pada masa gereja-gereja telah mempunyai penerangan listrik, lilin lebih memainkan peran simbolis. Cahaya lilin sungguh indah dan membangkitkan semangat, juga lilin membiarkan dirinya terbakar habis dalam pelayanan misteri-misteri sakral ini. Umat Katolik biasa menyalakan sebatang lilin di depan sebuah patung atau tempat doa sebagai ungkapan kerinduan agar doa-doa mereka terus membubung tinggi bahkan setelah mereka meninggalkan gereja.


Gambar-gambar yang Mengajar

Suatu ciri pembeda lainnya dari gereja-gereja Katolik seringkali adalah adanya patung-patung dan gambar-gambar devosional lainnya. Pada masa ketika Misa dan pembacaan-pembacaan dari Kitab Suci disampaikan dalam bahasa Latin yang tidak selalu dimengerti oleh umat beriman, patung-patung, lukisan dan gambar-gambar kaca jendela warna-warni seringkali menjadi Kitab Suci umat, mengajar dan menjelaskan misteri-misteri iman kita dan menghormati pahlawan-pahlawan yang mengamalkan imannya.

Ketika imam merayakan Ekaristi dengan membelakangi jemaat, dinding di belakang altar dan akhirnya ruang di atas altar itu sendiri mulai didekorasi dengan patung-patung dan lukisan-lukisan: pertama-tama salib, dan kemudian martir (yaitu orang yang mati demi Kristus) yang relikwinya ditempatkan di bawah altar, atau orang kudus (santa / santo) kepada siapa gereja dipersembahkan.

Sementara tempat-tempat doa ini diperbanyak dan ditempatkan lebih dan lebih tinggi lagi di atas altar, bagi banyak umat Katolik tempat-tempat doa ini menjadi fokus utama gereja. Apabila orang-orang Katolik yang lebih tua berbicara mengenai “altar tinggi” [= high altar] pada umumnya yang mereka maksudkan adalah kumpulan patung-patung dan tempat-tempat doa, daripada altar itu sendiri.

Seringkali, ketika tamu-tamu dari agama lain ikut hadir dalam Misa, mereka mempertanyakan gambar-gambar sengsara Kristus yang mereka lihat ada sekeliling dinding gereja. Ke-14 gambar, atau salib, ini disebut Jalan salib, membantu umat Katolik mempraktekkan suatu devosi yang telah populer sejak Abad Pertengahan.

Sejak masa awali, umat Kristiani rindu mengunjungi Tanah Suci dan menapaki jejak langkah Yesus menuju Kalvari, dengan mengenangkan bagian-bagian penting dari kisah sengsara. Di Eropa, pada Abad Pertengahan, devosi Jalan Salib dipopulerkan oleh para Fransiskan. Ibadat ini memungkinkan mereka yang tak mampu menanggung biaya ziarah yang jauh dan berbahaya ke Yerusalem, agar dapat ikut ambil bagian dalam Jalan Salib di kota kediaman mereka sendiri, dengan merenungkan apa yang telah Yesus lakukan bagi mereka. Orang akan bergerak dari satu salib ke salib berikutnya, dari perhentian ke perhentian, berdoa dengan mengenangkan peristiwa-peristiwa sengsara ini dalam kehidupan Yesus. Kita masih melakukannya hingga sekarang, teristimewa pada Masa Prapaskah.

Kisah Yesus tidak berakhir pada Jumat Agung, melainkan berlanjut hingga puncaknya pada Minggu Paskah. Karena itu, di sebagian gereja ditambahkan perhentian ke-15: Yesus Bangkit. Di sebagian gereja lainnya, jemaat berbalik kembali ke altar untuk memanjatkan doa penutup. Altar itu sendiri adalah simbol akan Kristus yang bangkit, dan karenanya perhentian ke-15 tidak diperlukan. Sebagian lainnya memanjatkan doa penutup di depan tabernakel, di mana terdapat kehadiran nyata Kristus yang bangkit di tengah kita. Devosi-devosi populer selalu amat fleksibel dan dapat berbeda dari paroki yang satu dengan paroki lainnya.

Pembaharuan liturgi baru-baru ini telah mengingatkan kita bahwa jemaat adalah fokus utama gereja dan segala obyek yang mengalihkan perhatian kita dari fokus itu adalah tidak sesuai ditempatkan dalam gereja. Ini bukan berarti bahwa segala patung dan karya-karya seni pun segala dekorasi harus disingkirkan dari gereja-gereja kita. Namun demikian, desain gereja wajib mendorong doa bersama dan tidak mengalihkan perhatian kita darinya.


Melihat Kembali untuk Pertama Kali

Gereja kalian mungkin tidak tampak tepat sama seperti yang kita gambarkan di sini. Setiap gereja adalah ungkapan iman dan “kepribadian” dari komunitas setempat, sama seperti kamar kalian di rumah adalah ungkapan dari siapa kalian sebenarnya dan apa yang kalian sukai. Saya tak hendak menata ulang kamar kalian hanya karena kamar itu tidak ditata seperti saya menata kamar saya, demikian pula saya tidak akan mengkritik gereja yang tidak tampak sama seperti yang digambarkan dalam artikel ini.

Saya hanya berusaha menggambarkan suatu gereja Katolik pada umumnya supaya kalian dapat mengenali maksud dan tujuan dari obyek-obyek pokok yang didapati di sana. Sementara kalian mengenal lebih banyak mengenai obyek-obyek ini, saya berharap kalian akan dapat merasa lebih nyaman berada di tempat ini. Inilah tempat kalian. Inilah tempat yang, saya harap, dapat membentuk dan memelihara sebagian dari saat-saat yang paling mendalam dan penuh arti dalam hidup kalian.

* Fr Thomas Richstatter, O.F.M., S.T.D., has a doctorate in liturgy and sacramental theology from the Institut Catholique of Paris. A popular writer and lecturer, Father Richstatter teaches at St. Meinrad (Indiana) School of Theology.

sumber : “Inside a Catholic Church: What's There and Why? by Thomas Richstatter, O.F.M.”; Copyright St. Anthony Messenger Press; www.americancatholic.org

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments