Jumat, 18 Maret 2011

thumbnail

Bosankah dengan formulasi dan rutinitas Misa?

Bosankah dengan formulasi dan rutinitas Misa?
Oleh: Yohanes AW [mailto.aw@gmail.com]

Banyak orang mengeluh bahwa mereka bosan menghadiri Misa. Mereka bingung mengapa dalam Misa sudah dirumuskan sedemikian rupa urut-urutan ibadatnya, lalu dengan formula-formula doa yang sudah dirumuskan. Beberapa orang dari protestan juga sempat bertanya, "Mengapa tidak berdoa spontan saja? Berdoa kan harus dari dalam hati? Bukan dari doa-doa yang dirumuskan?"

Harus spontan??
Orang-orang tertentu, khususnya yang melankolik atau romantis, merasa bahwa doa kepada Allah seharusnya mengalir dari spontanitas hati. Hati yang kagum, heran pada Allah memberikan kata-kata spontan dalam doa mereka. Dengan spontanitas kata-kata bisa indah dan "alami".

Pernahkah kita berpikir kenyataan tentang rutinitas dalam hidup kita? Tanpa adanya rutinitas kita hanya dapat memperoleh sedikit saja dari hidup ini. Seandainya hidupku sepenuhnya mengalir dari hati / afeksi saja apa yang terjadi? Ketika aku dalam good mood aku akan bekerja dengan rajin, tepat waktu, menyelesaikan tugas secara perfect. Lalu ketika aku bad mood, maka aku tidak berangkat kerja, aku tidur saja di rumah. Tapi kenyataannya ialah bahwa pekerjaan membutuhkan konsistensi bukan perasaan. Dengan spontanitas kita hanya memperoleh sedikit! Dengan rutinitas kita membangun diri kita dengan lebih baik! Ya dengan jadwal dan rutinitas.

Rutinitas menunjukkan konsistensi Cinta
Demikianlah pula di dalam kehidupan rohani kita. Mencintai Allah bukan soal perasaan. Mencintai ialah keputusan untuk dijalankan penuh komitmen. Apakah kehidupan rohani harus diwarnai perasaan cinta yang romantis? Dengan doa menggebu-gebu? Doa penuh improvisasi sehingga hati kita merasa "senang" atau "puas" saat berdoa? Coba lihatlah Yesus yang penuh cinta kasih kepada BapaNya. Ketika Ia berdoa di taman getsemani, apakah Ia berdoa dengan begitu romantisnya?


Mat 26:37-38 Maka mulailah Ia merasa sedih dan gentar, lalu kata-Nya kepada mereka: "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.

Yesus pun tetap ketakutan hingga mencucurkan keringat bagai darah (Luk 22:44). Ia berdoa seandainya cawan itu boleh berlalu dari padaNya. Namun di sinilah kita lihat teladan heroik dari Yesus: bukan soal perasaan romantis, perasaan menggebu-gebu, perasaan tersentuh ataupun jenis afeksi lainnya; melainkan ketaatanNya dalam keadaan batin yang serba negatif. Di sinilah kita lihat kekonsistenan cinta Yesus.

Cinta sejati bukan diindikasikan dengan afeksi-afeksi romantis. Cinta diindikasikan dengan kekonsistenan kita dalam mengasihi. Kekonsistenan itu dibuktikan dalam rutinitas kita. Apakah ada istri yang merasa tidak nyaman, merasa tidak berkenan karena setiap hari suaminya hanya mengecup dia sambil mengatakan "I love you", sebelum berangkat kerja? Apakah orang tua tidak sungguh mencintai anaknya karena setiap anaknya ingin pergi ia selalu mengatakan "hati-hati ya, Nak, jangan ngebut !" secara rutin? Dari contoh kehidupan nyata ini kita melihat bahwa rutinitas mencerminkan cinta yang sejati (sekalipun kalau kurang berhati-hati rutinitas dapat menyebabkan hilanganya penghayatan cinta kita).

Demikian pula mengapa kita harus bosan dengan ibadat kita? Karena setiap Minggu kita berseru "Tuhan kasihanilah kami", madah Kemuliaan, Kudus, Bapa Kami, Anak Domba Allah!? Apakah dalam mencintai kita harus selalu mengikuti kondisi perasaan hati kita? Tentu tidak. Jika kita merayakan hari ulang tahun pernikahan, misalnya, lalu tepat di hari h salah satu pasangan sedang dalam bad mood karena pekerjaan, anak dsb. Apakah kemudian dia berkata "ah… hati saya lagi tidak enak untuk merayakan hari ini, lagi tidak bisa berbunga-bunga untuk mengatakan I Love U, I care about you dst" ?
Demikian pula ketika hari Minggu kita bersama seluruh Gereja merayakan Misa. Terkadang dalam hari itu kita sedang bad mood; namun karena sungguh mencintai Allah maukah kita dengan konsisten tetap mengucapkan puji-pujian yang seharusnya milik Allah?

Cinta sejati bukan soal perasaan melainkan keputusan yang berkomitmen. Komitmen tampak dalam konsistensi dan konsistensi tampak dari rutinitas kita.

Mengapa teks doa dalam Misa?
Kemudian kita beranjak ke masalah formulasi doa di Misa. Mengapa teks doanya sudah diatur? Allah pernah berfirman bahwa kita harus menyembah dia dalam roh dan kebenaran. Perhatikan persoalan "kebenaran". Saya pernah mendengar seseorang memimpin doa seperti ini:
"Ya Bapa, aku bersyukur karena Engkau baik, ya Yesus, ya Bapa Engkau sungguh dahsyat, kuasaMu luar biasa ya Yesus, terima kasih karena berkatMu, ya Bapa, ya Yesus dst…"

Orang yang berdoa seperti itu sesungguhnya telah mencampuradukkan pribadi Bapa dan Yesus. Seolah-olah perbedaan Yesus dan Bapa itu hanya soal "julukan" atau "sebutan" atau "panggilan". Hal ini jelas tidak menunjukkan kebenaran yang diimani umat Kristen soal Tritunggal.
Mengapa kita tidak boleh berdoa "Bapa yang jahat, ……, Bapa yang kejam… " ?? kita tidak boleh berdoa demikian karena itu bertentangan dengan kebenaran. Kebenaran bahwa Bapa kita baik dan murah hati. Demikian juga kita tidak boleh berdoa dalam contoh di atas karena bertentangan dengan kebenaran Tritunggal. Ada banyak contoh doa-doa lain yang tidak sesuai kebenaran Kristen.

Sesungguhnya dalam berdoa, ketika kita mengucapkan kata-kata yang sesuai kebenaran iman, di situlah Allah dipermuliakan. Dengan berdoa yang teksnya "benar" mencerminkan bahwa kita mengAmin-i kebenaran Allah. Kita berdoa di dalam kebenaran Allah sendiri.

Perhatikanlah teks Misa setiap minggu. Dari doa pembukaan hingga penutup, sadar tidak sadar, tahu tidak tahu, semuanya berasal dari kutipan Alkitab. Seluruh doanya mencerminkan kebenaran Allah sendiri. Kita memuliakan Dia dengan kepunyaanNya yang sepantasNya dipersembahkan kembali: kebenaran-kebenaran ilahi.

Kesatuan hati : bernyanyi dan berdoa dengan teks sama
Yesus pun mengajarkan suatu doa yang sudah dirumuskan kepada para muridNya, yakni doa Bapa Kami. Ketika kita berkumpul, lalu bersama-sama mendoakan doa yang dirumuskan, di situlah kita mengungkapkan kesatuan hati kita. Kesatuan kita dalam iman, untuk mengucapkan doa yang sama, kesatuan dalam tujuan dan pengharapan rohani kita.

Saya menjadi teringat ketika masih kecil saya mengikuti upacara bendera kemerdekaan Negara. Di sekolah kita semua berbaris, menyanyikan Indonesia Raya bersama-sama, mengucapkan Pancasila bersama-sama. Lalu di TV pun disiarkan bahwa di lapangan Istana Negara terjadi hal yang sama. Di sekolah-sekolah lain, instansi pemerintah lain, juga terjadi hal yang sama. Mereka menyanyikan Indonesia raya dan melafalkan Pancasila bersama-sama. Di sini terlihat kesatuan kita sebagai warga dan Negara Indonesia.

Dalam Ekaristi, kita pun bersatu hati, mempersembahkan doa kepada Allah. Allah sendiri yang mempersatukan kita dalam satu iman. Dalam hati penuh syukur oleh karena karya Allah ini kita mengungkapkan doa dalam kata-kata sama sebagai hormat kepadaNya. Betapa bersyukur kita menyadari bahwa di seluruh dunia, semua saudara seiman, kita yang dipersatukan Roh Kudus menjadi Gereja Kristus, mengumandangkan pujian penyembahan yang sama: kesatuan hati sebagai jemaat Kristus.

Sadarilah anugerah persaudaraan Allah ketika Anda menghadiri Misa, bersama-sama memohon belaskasihannya "Tuhan, kasihanilah kami", memadahkan "Kemuliaan", bermazmur, berdoa Bapa Kami hingga selesai. Sadarilah juga di seluruh dunia berkumandang pujian yang saja. Sungguh kita telah dipersatukan oleh Allah.

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments