Jumat, 18 Maret 2011

thumbnail

Merayakan Ekaristi dengan Khidmat

Perayaan yang Luhur
Perayaan Ekaristi adalah perayaan luhur yang diwariskan Kristus kepada kita. Sejak Gereja Perdana, umat Kristen senantiasa bertekun “memecahkan roti” (Kis 2:42.46) untuk mengenang sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus. Sekaligus dalam Ekaristi ini kita menantikan kedatangan-Nya yang mulia pada akhir zaman (bdk. 1 Kor 11:26). Dalam perayaan Ekaristi kita menyanyikan anamnesis setelah konsekrasi untuk mengenang sengsara-wafat dan kebangkitan Kristus serta menantikan kedatangan-Nya kedua kali.
Perayaan Ekaristi juga merupakan perayaan luhur dan penting karena melalui Ekaristi kita menerima “paket lengkap” kehadiran Tuhan (SC 7), yakni melalui:

[•] Umat yang berhimpun dalam nama-Nya,
[•] Imam, pemimpin perayaan Ekaristi, yang bertindak dalam nama Yesus,
[•] Kitab Suci yang diwartakan,
[•] Tubuh (dan Darah) Kristus yang kita sambut dalam komuni.


Perayaan Bersama Yang Sakral
Dalam Ekaristi Kudus, kita disatukan oleh Tuhan sendiri di sekitar altar untuk diteguhkan oleh Firman-Nya dan makan-minum dari Tubuh dan Darah yang satu dan sama. Kebersamaan ini secara nyata tampak dalam Komuni kudus, dimana kita tidak hanya bersatu dengan Tuhan, tetapi juga disatukan dengan yang lainnya. Maka peristiwa dalam perayaan Ekaristi adalah sesuatu yang sakral.

Dalam Konstitusi Liturgi dari Konsili Vatikan II dinyatakan, “ Umat beriman janganlah menghadiri misteri iman sebagai orang luar atau penonton yang bisu, elainkan sedemikian rupa sehingga melalui upacara dan doa-doa mereka memahami misteri itu dengan baik, dan ikut serta dengan penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka dengan rela hati menerima pelajaran dari Sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan dan bersyukur kepada Allah” (SC 48). Jadi, perayaan bersama yang sakral ini di satu pihak menuntut keterlibatan aktif kita dalam menjawab doa, menyanyi, maupun bersikap liturgi yang sama, tetapi di lain pihak juga menuntut kita untuk terlibat menciptakan suasana khidmat agar kita masing-masing bisa mengalami sentuhan Tuhan dalam perayaan ini. Konsekuensinya kita juga harus bertoleransi dan membantu orang lain sedapat mungkin mengalami sentuhan Tuhan dalam Ekaristi.

Waktu Hening dalam Misa Kudus
Kita tahu bahwa Misa Kudus adalah perayaan kita bersama, perayaan seluruh umat sehingga kita semua yang hadir diminta untuk berpartisipasi aktif dalam liturgi dengan berdiri, berlutut, berdoa, menjawab, menyanyi, dan mendengarkan bersama (bdk. SC 48). Maka tidak cukup bila dalam Misa Kudus kita hanya duduk-berdiri dan diam atau sibuk berdoa rosario sendiri, atau malahan ngobrol terus tiada henti. Tetapi yang menjadi persoalan, kapankah kita mempunyai waktu hening, untuk berdoa secara pribadi kepada Tuhan dalam Misa Kudus, bukankah Tuhan Yesus berkenan menjadi sahabat kita (Yoh 15:14), yang berarti siap mendengarkan keluh-kesah dan uneg-uneg kita? Kapan kesempatan kita bisa berdoa secara pribadi untuk menyampaikan ujud pribadi kita?

Perlunya Ujud Pribadi
Ada kalanya orang pergi ke Misa Kudus sekedar memenuhi kewajiban sehingga merasa ogah-ogahan atau menjalaninya secara formalitas. Situasi demikian bisa disiasati dengan membawa intensi pribadi dalam Misa kudus, yakni ujud khusus yang kita doakan dalam Misa Kudus. Ujud pribadi yang akan kita doakan dalam hati ini tidak hanya berkutat untuk kepentingan diri, tetapi mesti menjangkau juga pada kesejahteraan orang lain, entah anggota keluarga, teman-pergaulan, maupun kenalan kita. Doa kita sangatlah berguna bagi damai sejahtera orang lain. Itulah yang dilakukan Maria dalam pesta perkawinan di Kana (Yoh 2:1-12), keempat orang yang menggotong temannya yang lumpuh (Mrk 2:5, melihat iman mereka), seorang ibu Kanaan bagi kesembuhan putrinya (Mat 15:21-28), kedua bapak yang memohonkan kesembuhan bagi anaknya (Mat 9:18-25; Mat 17:14-21), dan juga dilakukan oleh perwira Romawi di kota Kapernaum bagi kesembuhan hambanya (Mat 8:5-13). Dan permohonan dan intense demikian sangatlah berguna bagi mereka.

Kapan Mendoakannya?
Kesempatan pertama, tentu pada saat sebelum dan sesudah perayaan Ekaristi dimulai. Hal demikian memang tak bisa dilakukan oleh mereka yang biasa datang terlambat ataupun pulang mendahului berkat penutup. Selain doa pribadi, waktu hening sebelum misa juga bisa dimanfaatkan dengan persiapan batin dengan membaca bacaan yang akan diwartakan.

Kedua, pada saat hening di antara “Marilah Berdoa” dan doa pembuka yang diucapkan oleh romo. Pada saat hening ini kita diberi kesempatan untuk menyampaikan ujud-ujud pribadi kita dalam hati, yang kemudian dirangkum oleh romo dengan doa pembukaan yang resmi.
Ketiga, pada waktu persembahan. Kolekte merupakan simbol persembahan diri kita sekaligus ujud dan permohonan kita. Itulah yang akan disatukan dengan kurban Kristus di altar. Kurban Kristus inilah yang berkenan pada Allah Bapa.

Keempat, sebelum dan sesudah Komuni. Yesus yang bersabda dalam bacaan Injil, Yesus itu juga yang kita sambut dalam Komuni Kudus. Maka dalam doa pribadi ini kita bisa menanggapi Sabda Tuhan yang baru kita dengar itu, misalnya dengan menyampaikan niat-niat untuk menanggapi sabda Tuhan/ khotbah, mohon kekuatan untuk melaksanakan niat itu, atau menyampaikan ujud pribadi kita tadi. Saat-saat setelah komuni merupakan kesempatan emas bagi kita untuk lebih intens berbicara dengan Tuhan Yesus yang telah berkenan hadir di hati kita.

Upaya Menciptakan Kekhidmatan
Secara konkret apa yang bisa kita lakukan untuk menciptakan suasana khidmat dalam perayaan Ekaristi? Kiranya beberapa catatan praktis dan kritis berikut ini perlu diperhatikan:

[1]. Tidak Datang Terlambat – Pulang Cepat
Dalam perayaan Ekaristi, selalu saja masih ada yang suka datang terlambat dan pulang cepat. Ekaristi, dimana kita bisa mengalami kehadiran Tuhan, pun mereka perhitungkan secara praktis dan ekonomis. Mereka yang datang lambat dan pulang cepat ini agaknya kurang menyadari nilai kebersamaan dengan yang lain. Sekedar memikirkan “keselamatan individual”. Begitu sudah dapat “jatah komuni”, segera pulang duluan. Padahal, perilaku demikian bisa mengganggu konsentrasi umat di sekitar kita, setidaknya yang duduk sebangku dengan kita. Tentu, bukan dimaksudkan di sini, bahwa mereka yang datang terlambat tak boleh masuk. Tetapi, sedapat mungkin kita upayakan agar kita bisa mengikuti perayaan Ekaristi secara utuh dari awal sampai akhir.

[2.] Pakaian yang Pantas
Pakaian disebut pantas, manakala cocok dengan “situasi-kondisinya”. Pakaian tidur tak selayaknya dipakai untuk menerima tamu. Baju pesta tidak cocok kita kenakan di kolam renang. Demikian juga dengan pakaian untuk ke gereja, kita mesti ingat, kita mau bertemu dengan siapa. Dengan Tuhan dan umat yang lain. Maka tak bisa kita berdalih, “Peduli amat dengan pakaian, yang terpenting kan hati saya”. Sebab di gereja kita berdoa bersama yang lain. Pakaian kita yang terlalu nyleneh, super ketat, “you can see”; kerap malah menjadi batu sandungan bagi yang lain. Artinya, mereka yang duduk di sekitar kita sebenarnya sungguh mau berdoa, tetapi lantaran menyaksikan dandanan kita yang kurang pantas, jadinya terganggu juga: entah mencela dalam hati ataupun berpikiran lain. Memang semua tergantung pada orangnya. Tetapi, alangkah bijak bila kita tidak membawa orang lain jatuh dalam pencobaan. Tulis St. Paulus, “Karena itu, janganlah kita saling menghakimi lagi! Tetapi lebih baik kamu menganut pandangan ini: Jangan kita membuat saudara kita jatuh atau tersandung” (Rom 14:13).

[3.] Berisik dan Ngobrol dengan Siapa?
Omong-omong dan berisik dengan umat sebangku, apalagi sampai ngobrol, sungguh mengganggu yang lainTerlebih selama perayaan Ekaristi sebenarnya merupakan kesempatan emas bagi kita untuk mendengarkan firman Tuhan dan menanggapinya dengan doa-doa kita. Kalaupun mau ngobrol, kita masih punya waktu dan kesempatan di luar gereja setelah Misa Kudus.

[4.] HP: Saya Siap Sedia untuk Siapa?
Di pintu masuk gereja biasanya ada peringatan agar HP dinonaktifkan agar membantu kekhidmatan suasana perayaan Ekaristi. Namun kenyataannya, tidak jarang terjadi selama perayaan Ekaristi berlangsung terdengar suara HP berdendang di gereja. Apa ini artinya? HP yang selalu on - aktif, sebenarnya menandakan kita bersiap sedia menerima panggilan dan pesan. Sayangnya, bukan panggilan dan pesan dari Tuhan, melainkan dari kolega dan mereka yang berada di luar gereja. Agar bisa siap sedia mendengarkan firman Tuhan, untuk sementara kesiapsediaan kita pada dunia luar, mesti kita non aktifkan. Tanpa itu, niscaya pikiran kita akan terus bercabang.

[5.] Soal Klasik: Anak-Anak
Berkaitan dengan kekhidmatan suasana perayaan Ekaristi, kerap anak-anak kecil juga dituding sebagai penyebabnya. Memang tidak semua anak bisa duduk tenang bersama orang tuanya. Harus ada banyak trik untuk mensiasatinya, mulai dari memberi pengertian dari rumah, membawakan mainan, mengajaknya keluar gereja bila menangis dan rewel, ataupun menitipkannya di Minggu Gembira selama perayaan Ekaristi berlangsung dan dibawa masuk kembali untuk menerima berkat di dahi pada saat komuni. Persoalan ini juga saya singgung dalam “Membangun Religiositas Katolik dalam Keluarga” pada buku SKP-4: Mendidik Anak secara Katolik (Pustaka Nusatama, 2006). Harus diakui, tidaklah mudah mengatasi persoalan anak-anak. Butuh seni tersendiri. Namun, kita harus ingat akan peringatan Tuhan Yesus, “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab oirang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah” (Mrk 10:14).
Maka kalaupun pada saat ada anak yang rewel dan menangis dalam Gereja, hendaklah kita memaklumi, toh orangtuanya akan segera berusaha menenangkannya. Kita tidak melihatnya sebagai “gangguan” yang mengusik kekhususk-asyikan kita, laiknya saat menonnton konser. Mungkin kita bisa mengingat komentar Tuhan Yesus, saat para imam kepala dan ahli Taurat merasa bising dan jengkel karena anak-anak dalam Bait Allah berseru “Hosana bagi Anak Daud.” Tanya mereka, “Engkau dengar apa yang dikatakan anak-anak ini?” Kata Yesus kepada mereka, “Au dengar; belum pernahkah kamu baca: Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu Engkau telah menyediakan puji-pujian” (Mat 21:14-16; bdk. Mazmur 8:3). Dan mungkin kita juga bisa memaknai kehadiran (dan risikonya kerewelan) anak-anak dalam Gereja sebagai hal yang patut disyukuri sebab mereka inilah masa depan Gereja kekal dan syukur bahwa sejak dini mereka telah dibiasakan oleh orangtuanya untuk bergaul dengan Kristus dan Gerejanya. Sebaliknya, saya yakin Anda akan merasa “ngenes” bila menyaksikan gereja-gereja di Eropa, hanya dihadiri oleh para lansia! Jarang sekali orang muda dan keluarga muda (plus anak-anaknya) yang memenuhi gereja. Tentu berlimpahnya umat yang hadir dalam Gereja kita, perlu tetap diimbangi dengan upaya menjaga kekhusukan dan kekhidmatan perayaan Ekaristi. Maka kuncinya dalam hal ini adalah katekese iman dalam keluarga akan makna peryaaam Ekaristi itu sendiri bagi kita.


Demikianlah beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kita bisa merayakan Ekaristi bersama dengan khidmat. Semoga.


Oleh: F.X. Didik Bagiyowinadi,Pr

Sumber: Beriman Katolik dari Altar Sampai Pasar (Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 2006) 86-93.
http://imankatolik.or.id/forum/viewtopic.php?f=10&t=49

Subscribe by Email

Follow Updates Articles from This Blog via Email

No Comments