Dominus Iesus
Berikut ini adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation)
dari Deklarasi CDF yang berjudul Dominus Iesus (Tuhan Yesus) tentang
keunikan dan keselamatan bagi semua umat manusia di dalam Yesus Kristus
dan Gereja Katolik.
Jika anda ingin mengutip terjemahan
ensiklik ini, mohon mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya,
sehingga kalau ada masukan dapat diberitahukan kepada kami.
AN UNOFFICIAL INDONESIAN TRANSLATION
OF “DOMINUS IESUS” @COPYRIGHT 2009 – KATOLISITAS
Kongregasi Ajaran Iman (CDF)
Deklarasi
“DOMINUS IESUS”
tentang Keunikan dan Keselamatan bagi semua umat manusia dalam Yesus Kristus dan Gereja Katolik
Pendahuluan
1. Tuhan Yesus sebelum kenaikan-Nya ke surga memerintahkan para
murid-Nya untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia dan untuk membaptis
semua bangsa: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum”; (Mk 16:15-16); “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan
ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan
kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada
akhir zaman.” (lih. Mk 16:15-16, Mat 28:18-20,Lk 24:46-48; Yoh 17:18,20,21; Kis 1:18).
Maka misi Gereja ke semua bangsa lahir dari perintah Yesus Kristus
dan digenapi di sepanjang abad dalam pewartaan misteri Allah: Bapa,
Putera dan Roh Kudus dan misteri Inkarnasi (penjelmaan) Allah Putera
menjadi manusia sebagai kejadian yang menyelamatkan bagi semua umat
manusia. Maka pernyataan iman Kristiani secara mendasar diekspresikan
seperti dalam Credo Aku percaya: “Aku percaya akan Allah, Bapa yang Maha
kuasa, Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan
tak kelihatan. Aku percaya akan satu Tuhan, Yesus Kristus, Putera Allah
yang Tunggal, Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad. Allah dari Allah,
terang dari terang, Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan bukan
dijadikan, sehakekat dengan Bapa, segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. Ia
turun dari sorga untuk kita manusia, dan untuk keselamatan kita. Dan Ia
menjadi daging oleh kuasa Roh Kudus dari Perawan Maria dan menjadi
manusia. Iapun disalibkan untuk kita waktu Pontius Pilatus. Ia wafat
kesengsaraan dan dimakamkan. Pada hari ketiga Ia bangkit, menurut Kitab
Suci. Ia naik ke sorga, duduk di sisi kanan Bapa. Ia akan kembali dengan
mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati; Kerajaan-Nya takkan
berakhir. Aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan; Ia
berasal dari Bapa. Yang serta Bapa dan Putera, disembah dan dimuliakan
Ia bersabda dengan perantaraan para nabi. Aku percaya akan Gereja yang
satu, kudus, katolik dan apostolik. Aku mengakui satu pembaptisan akan
penghapusan dosa. Aku menantikan kebangkitan orang mati, dan hidup di
akhirat. Amin.” ((First Council of Constantinople, Symbolum Constantinopolitanum: DS 150.))
2. Di sepanjang abad, Gereja telah mewartakan dan memberi kesaksian
tentang Injil Kristus dengan setia. Namun demikian, menjelang penutupan
milineum kedua, misi ini masih jauh dari selesai. ((Cf. John Paul II,
Encyclical Letter Redemptoris missio, 1: AAS 83 (1991),
249-340.)) Maka ajaran Rasul Paulus menjadi makin relevan, “Karena jika
aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan
diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak
memberitakan Injil.” (1 Kor 9:16). Ini menjelaskan perhatian khusus
Magisterium untuk memberikan alasan-alasan dan dukungan kepada misi
evangelisasi Gereja, terutama dalam kaitannya dengan berbagai tradisi
religius di dunia. ((Cf. Second Vatican Council, Decree Ad gentes and Declaration Nostra aetate; cf. also Paul VI Apostolic Exhortation Evangelii nuntiandi: AAS 68 (1976), 5-76; John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio.))
Dalam mempertimbangkan nilai-nilai dari berbagai agama ini, maka
Konsili Vatikan II mengajarkan: “Gereja Katolik tidak menolak apapun,
yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat
yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup,
kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda
dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, Tetapi tidak jarang toh
memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang.” ((Second
Vatican Council, Declaration Nostra aetate, 2.)). Melanjutkan
pemikiran ini, pewartaan Gereja tentang Kristus sebagai “jalan,
kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6) dewasa ini juga menggunakan dialog antar
agama. Dialog ini tidak menggantikan tetapi menyertai misi kepada
seluruh bangsa (misio ad gentes), yang terarah kepada “misteri
kesatuan”, di mana semua orang yang diselamatkan sesungguhnya mengambil
bagian di dalam misteri yang sama, yaitu misteri keselamatan di dalam
Yesus Kristus melalui Roh Kudus. ((Pontifical Council for
Inter-religious Dialogue and the Congregation for the Evangelization of
Peoples, Instruction Dialogue and Proclamation, 29: AAS 84 (1992), 424;
cf. Second Vatican Council, Pastoral Constitution Gaudium et spes, 22.)) Dialog antar agama, yang merupakan bagian dari misi evangelisasi Gereja ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio,
55: AAS 83 (1991), 302-304.)), mensyaratkan sikap pemahaman dan
hubungan pengetahuan timbal balik dan saling memperkaya, di dalam
ketaatan terhadap kebenaran dan dengan penghormatan akan kehendak bebas.
((Cf. Pontifical Council for Inter-religious Dialogue and the
Congregation for the Evangelization of Peoples, Instruction Dialogue and Proclamation, 9: AAS 84 (1992), 417ff.))
3. Dalam praktek dialog antara iman Kristiani dan tradisi-tradisi
religius lainnya, bersamaan dengan pencarian akan pemahaman dasar
teoretis dengan lebih mendalam, pertanyaan- pertanyaan baru muncul, yang
perlu dibahas melalui mengikuti jalur-jalur penyelidikan, pengajuan
usulan/proposal dan penawaran cara-cara bertindak yang membutuhkan
pertimbangan/ discerment yang penuh perhatian. Karena itu,
Deklarasi ini mengingatkan kepada para Uskup, teolog dan semua umat
beriman untuk mengingat hal-hal yang penting dalam doktrin Kristiani,
yang dapat membantu permenungan demi tercapainya solusi yang konsisten
dengan makna iman dan responsif terhadap kebutuhan masa kini.
Bahasa penerangan dari deklarasi ini sesuai dengan maksudnya, yang
tidak menjabarkan secara sistematik masalah keunikan dan keselamatan
bagi semua manusia dari misteri Yesus Kristus dan Gereja, ataupun
mengusulkan solusi- solusi yang dapat diperdebatkan dengan bebas,
melainkan sekali lagi menjabarkan ajaran Gereja Katolik tentang hal ini,
sambil menunjukkan masalah mendasar yang tetap terbuka terhadap
pengembangan lebih lanjut dan menolak pendapat-pendapat yang salah dan
kabur/ ambigu. Untuk alasan ini, Deklarasi mengambil sumber dari apa
yang sudah diajarkan di dalam dokumen-dokumen Magisterium sebelumnya,
dalam rangka mengulangi kebenaran-kebenaran tertentu yang merupakan
bagian dari iman Gereja.
4. Dewasa ini, pewartaan misionaris Gereja yang tetap berlangsung
diancam oleh teori-teori yang mencari pembenaran terhadap pluralisme
agama, tidak hanya secara de facto, tetapi de iure (secara prinsip).
Akibatnya, terdapat kebenaran- kebenaran tertentu yang dianggap kuno,
contohnya: kepenuhan dan kelengkapan wahyu Yesus Kristus, kodrat/ ciri
iman Kristiani dibandingkan dengan agama lain; ciri ilahi kitab-kitab
dalam Alkitab; kemanunggalan Pribadi antara Sabda Ilahi dan Yesus dari
Nazareth, keunikan dan keselamatan bagi semua umat manusia dalam Yesus
Kristus, perantaraan Gereja yang universal dalam keselamatan, kesatuan
yang tak terpisahkan – namun juga menyadari perbedaannya- antara
Kerajaan Allah, Kerajaan Kristus dan Gereja, keberadaan dari satu Gereja
Kristus dalam Gereja Katolik.
Akar- akar dari permasalahan ini adalah anggapan- anggapan baik dari
segi filosofi maupun teologi yang menghalangi pemahaman dan penerimaan
akan kebenaran yang diwahyukan. Beberapa anggapan ini dapat disebutkan
sebagai berikut: keyakinan bahwa kebenaran ilahi tidak dapat ditangkap
dan diekspresikan, bahkan oleh wahyu Kristiani; sikap- sikap relativisme
terhadap kebenaran itu sendiri (kebenaran dipandang sebagai hal yang
relatif): yang benar bagi saya belum tentu benar bagi orang lain;
pertentangan radikal yang ditempatkan antara mentalitas logika dari
dunia Barat dengan mentalitas simbolik dari dunia Timur; subyektivisme
yang, dengan menempatkan akal sebagai satu-satunya sumber pengetahuan,
menjadi tidak mampu untuk menaikkan “pandangan ke arah ketinggian, tak
berani untuk bangkit menuju kebenaran tentang hakekat sesuatu”; ((John
Paul II, Encyclical Letter Fides et ratio, 5: AAS 91 (1999),
5-88.)) kesulitan memahami dan menerima kehadiran kejadian-kejadian
definitif yang bernilai eskatologi [berhubungan dengan akhir jaman] di
dalam sejarah, pengosongan Inkarnasi Sabda Ilahi di dalam sejarah
dikurangi menjadi hanya penampakan Tuhan di dalam sejarah manusia;
eklektisme dari mereka yang di dalam penyelidikan teologis, menyerap
ide-ide secara tidak kritis, dari berbagai konteks filosofi dan teologi
tanpa memperhitungkan konsistensi, hubungan sistematis atau kesesuaian
dengan kebenaran Kristiani; dan akhirnya, kecenderungan untuk membaca
dan meng-interpretasikan Kitab Suci di luar Tradisi dan Magisterium
Gereja.
Dengan dasar anggapan-anggapan di atas, yang dapat menunjukkan
nuansa-nuansa yang berbeda, usulan-usulan teologis tertentu
dikembangkan- di banyak kesempatan dihadirkan sebagai pernyataan, dan di
kesempatan yang lain sebagai hipotesa- di mana wahyu Kristiani dan
misteri Yesus Kristus dan Gereja kehilangan karakter dalam hal kebenaran
absolut dan hal keselamatan yang bersifat universal (bagi semua orang),
atau sedikitnya bayangan-bayangan keraguan dan ketidakpastian ditujukan
pada mereka.
I. Kepenuhan dan kelengkapan wahyu Yesus Kristus
5. Sebagai obat dari sikap relativisme ini, yang sekarang menjadi
lebih umum, adalah penting di atas segalanya untuk menyatakan kembali
karakter definitif dan lengkap dari wahyu Yesus Kristus. Sesungguhnya,
harus diimani dengan teguh bahwa di dalam misteri Yesus
Kristus, yang adalah “jalan kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6), kepenuhan
wahyu kebenaran ilahi diberikan: “…tidak seorangpun
mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain
Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.” (Mat
11:27), “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak
Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.”
(Yoh 1:18), “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh
kepenuhan ke-Allahan…. Dialah kepala semua pemerintah dan penguasa.”
(Kol 2:9-10)
Setia dengan sabda Tuhan ini, Konsili Vatikan II mengajarkan: “Tetapi
melalui wahyu itu kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah dan
keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus
menandai pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu.” ((Second Vatican
Council, Dogmatic Constitution Dei verbum, 2.)) Lebih lanjut,
“Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai “manusia
kepada manusia”, “menyampaikan sabda Allah” (Yoh 3:34), dan
menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya
(lih. Yoh 5:36 ; Yoh 17:4). Barang siapa melihat Dia, melihat Bapa juga
(lih. Yoh 14:9). Karena alasan ini, Yesus menyempurnakan wahyu dengan
menggenapinya melalui seluruh pekerjaan-Nya untuk membuat Diri-Nya hadir
dan nyata: melalui sabda-Nya maupun karya-Nya, dengan tanda-tanda
serta mukjizat-mukjizat-Nya, namun terutama dengan wafat dan
kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari maut, dan akhirnya dengan mengutus
Roh Kebenaran, Ia memenuhi dan menyempurnakan wahyu dan meneguhkannya
dengan kesaksian ilahi, ….. Adapun tata keselamatan Kristiani, sebagai
perjanjian baru dan definitif, tidak pernah akan lampau; dan sama sekali
tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang baru, sebelum Tuhan kita
Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya (lih. 1Tim 6:14 dan
Tit 2:13). ((Ibid., 4))
Karena itu, ensiklik Redemptoris missio juga memanggil
Gereja sekali lagi untuk tugas menyatakan Injil sebagai kepenuhan
kebenaran. “Di dalam penjelmaannya, Sang Sabda telah menyatakan Diri-Nya
dengan cara yang paling penuh. Ia telah menyatakan kepada manusia siapa
Diri-Nya. Pewahyuan Diri Allah secara definitif ini adalah alasan dasar
mengapa Gereja bersifat misionaris. Ia tidak dapat melakukan yang lain
daripada mewartakan Injil, yaitu kepenuhan kebenaran, di mana Tuhan
memampukan kita untuk mengenal Diri-Nya sendiri.” ((John Paul II,
Encyclical Letter Redemptoris missio, 5.)) Oleh karena itu,
hanya wahyu Yesus Kristus inilah yang “memperkenalkan kepada sejarah
kita, sebuah kebenaran yang universal (berlaku untuk semua orang) dan
tertinggi, yang terus menggerakkan pikiran manusia kepada jerih payah
tanpa henti.” ((John Paul II, Encyclical Letter Fides et ratio, 14.))
6. Maka teori yang mengatakan bahwa karakter wahyu Yesus Kristus itu
terbatas, tidak lengkap atau tidak sempurna, yang akan dilengkapi oleh
agama lain, adalah bertentangan dengan iman Gereja. Pandangan semacam
ini berdasarkan atas pendapat bahwa kebenaran Tuhan tidak dapat
ditangkap dan diwujudkan secara menyeluruh dan lengkap oleh agama
manapun, tidak juga oleh agama Kristiani ataupun oleh Yesus Kristus.
Pandangan ini sangat bertentangan dengan pernyataan-pernyataan iman
Katolik yang sesuai dengannya wahyu yang menyeluruh dan lengkap tentang
misteri keselamatan Tuhan diberikan di dalam nama Yesus Kristus. Oleh
karena itu, perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan dan seluruh
kehidupan Yesus, walaupun terbatas dalam realitas manusia, namun
mempunyai pribadi Ilahi (Sabda yang menjelma), “sungguh Allah dan
sungguh manusia” ((Council of Chalcedon, Symbolum Chalcedonense:
DS 301; cf. St. Athanasius, De Incarnatione, 54, 3: SC 199, 458.))
sebagai pelakunya. Untuk alasan ini, semua hal tersebut merupakan
pernyataan definitif dan kelengkapan wahyu keselamatan Tuhan, meskipun
kedalaman misterinya tetaplah merupakan sesuatu yang melampaui segala
akal dan tak terselami. Kebenaran tentang Tuhan tidak dihapuskan atau
dikurangi karena hal itu diucapkan di dalam bahasa manusia; melainkan,
hal itu adalah unik, penuh dan lengkap, sebab Ia yang mengatakannya dan
melakukannya adalah Allah Putera yang menjelma. Oleh karena itu, iman
mensyaratkan kita untuk menyatakan bahwa Sabda yang menjelma menjadi
manusia, di dalam keseluruhan misteri-Nya, dari penjelmaanNya sampai
kemuliaan-Nya, adalah sumber… dan juga penggenapan setiap wahyu
keselamatan Tuhan bagi manusia, ((Second Vatican Council, Dogmatic
Constitution Dei verbum, 4.)) dan Roh Kudus, yang adalah Roh
Kristus akan mengajarkan “kepenuhan kebenaran” (Yoh 16:13) kepada para
Rasul dan melalui mereka kepada seluruh Gereja.
7. Maka tanggapan yang layak terhadap wahyu Tuhan adalah “ketaatan iman”
(Rom 16:26; lih. Rom 1:5: Kor 2 10: 5-6), di mana manusia menyerahkan
keseluruhan dirinya kepada Tuhan, mempersembahkan “kepatuhan akalbudi
serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan.” ((Ibid.,
5.)) Iman adalah karunia rahmat: untuk beriman, rahmat Tuhan harus ada
terlebih dahulu dan memberikan bantuan; juga harus ada bantuan rohani
dari Roh Kudus yang mendorong hati dan membalikkannya kepada Tuhan, yang
membuka mata pikiran dan memberikan ‘kepada setiap orang suka cita dan
kemudahan untuk percaya kepada kebenaran’ .” ((Ibid.))
Ketaatan iman maksudnya adalah penerimaan kebenaran tentang wahyu
Kristus, yang dijamin oleh Tuhan yang adalah Kebenaran itu sendiri:
((Cf. Catechism of the Catholic Church, 144.)) “Iman adalah
pertama-tama, melekatnya seseorang kepada Tuhan. ((Ibid., 150.)) Pada saat yang sama dan tak terpisahkan, iman adalah dengan kehendak bebas tunduk pada seluruh kebenaran yang diwahyukan kepada Tuhan. ((Ibid., 150.)) Oleh karena itu, iman sebagai “sebuah karunia Tuhan” dan “sebuah kebajikan ilahi yang diberikan oleh Tuhan“, ((Ibid.,
153.)) melibatkan perlekatan terhadap kedua hal: kepada Tuhan yang
mewahyukan dan kepada kebenaran yang diwahyukan oleh-Nya, karena percaya
kepada Ia yang menyatakannya. Maka, “kita harus percaya kepada hanya
satu Tuhan: Bapa, Putera dan Roh Kudus.” ((Ibid., 178.))
Karena alasan ini, perbedaan antara iman teologis dan kepercayaan dari agama-agama lain harus dipegang dengan teguh.
Kalau iman adalah penerimaan kebenaran yang diwahyukan oleh kasih
karunia, “yang memungkinkan kita untuk meresapkan misteri tersebut
dengan cara yang membuat kita dapat memahaminya secara koheren” ((John
Paul II, Encyclical Letter Fides et ratio, 13.)), dengan
kepercayaan pada agama- agama lain, yang merupakan perbendaharaan
manusia tentang kebijaksanaan dan cita-cita religius, yang dipikirkan
oleh manusia dalam pencariannya akan kebenaran dan yang dilakukan
manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, Sang Absolut. ((Cf. ibid., 31-32.))
Perbedaan ini [antara iman teologis dan kepercayaan agama- agama
lain] tidak selalu ada di dalam permenungan teologis dewasa ini. Karena
itu, iman teologis (penerimaan kebenaran yang diwahyukan oleh Allah yang
Satu dan Tritunggal) seringkali diartikan sama dengan kepercayaan di
dalam agama-agama lain, di mana pengalaman religius masih di dalam tahap
pencarian terhadap kebenaran absolut dan masih kurang dalam kepatuhan
terhadap Tuhan yang mewahyukan Diri-Nya. Ini adalah salah satu alasan
mengapa perbedaan antara Kristianitas dan agama- agama lain kerap kali
cenderung untuk ditiadakan.
8. Hipotesa tentang nilai ilahi dari tulisan-tulisan suci di agama-
agama lain juga dikemukakan. Tentunya, harus diakui bahwa terdapat
elemen-elemen di dalam tulisan-tulisan ini yang merupakan alat-alat
nyata/ de facto yang oleh mereka [tulisan-tulisan itu]
orang-orang sepanjang abad telah dan sampai sekarang masih dapat
memelihara dan menjaga hubungan yang hidup dengan Tuhan. Maka, seperti
diketahui di atas, Konsili Vatikan II, mengajarkan bahwa “meskipun
berbeda dengan ajaran Gereja, tulisan-tulisan ini memantulkan sinar
kebenaran, yang menerangi semua orang.” ((Second Vatican Council,
Declaration Nostra aetate, 2; cf. Second Vatican Council, Decree Ad gentes, 9, where it speaks of the elements of good present “in the particular customs and cultures of peoples”; Dogmatic Constitution Lumen gentium,
16, where it mentions the elements of good and of truth present among
non-Christians, which can be considered a preparation for the reception
of the Gospel.))
Namun demikian, tradisi Gereja mempertahankan penetapan teks- teks yang diinspirasikan kepada
kitab-kitab kanonik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sebab keduanya
ini diinspirasikan oleh Roh Kudus. ((Cf. Council of Trent, Decretum de libris sacris et de traditionibus recipiendis: DS 1501; First Vatican Council, Dogmatic Constitution Dei Filius,
cap. 2: DS 3006.)) Konsili Vatikan II menyatakan, “Bunda Gereja yang
kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang Kitab-kitab Perjanjian
Lama maupun Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya,
sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis dengan ilham Roh
Kudus (lih. Yoh 20:31 ; 2Tim 3:16 ; 2Ptr 1:19-21 ; 2Ptr 3:15-16), dan
mempunyai Allah sebagai pengarangnya, serta dalam keadaannya demikian
itu diserahkan kepada Gereja.” ((Second Vatican Council, Dogmatic
Constitution Dei verbum, 11.)). Kitab-kitab ini “degan jelas
dan setia, tanpa kesalahan, mengajarkan kebenaran yang ingin disampaikan
oleh Tuhan demi keselamatan kita melalui Kitab Suci.” ((Ibid.))
Namun demikian, Tuhan yang ingin memanggil semua bangsa kepada-Nya di
dalam Kristus dan untuk menyampaikan kepada mereka kepenuhan wahyu dan
kasih-Nya, “tidak gagal dalam membuat Diri-Nya hadir di dalam banyak
cara, tidak hanya pada orang-per orang, tetapi pada keseluruhan bangsa
melalui kekayaan spiritual mereka, yang menjadi agama-agama mereka,
meskipun ketika di dalamnya terkandung hal-hal yang tak menyambung (gaps), kurang lengkap dan keliru.” ((John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 55; cf. 56 and Paul VI, Apostolic Exhortation Evangelii nuntiandi,
53.)) Oleh karena itu, kitab-kitab suci agama-agama lain yang secara
nyata membimbing dan memelihara keberadaan para pengikutnya, menerima
elemen-elemen kebaikan dan rahmat, dari misteri Kristus.
II. Sang Sabda yang menjelma dan Roh Kudus di dalam karya Keselamatan
9. Di dalam permenungan teologis kontemporer kadang timbul sebuah
pendekatan tentang Yesus dari Nazareth yang menganggap-Nya hanyalah
seseorang figur yang khusus, terbatas, tokoh historis yang menyatakan
keilahian, namun tidak dengan cara yang eksklusif, tetapi dengan cara
yang saling melengkapi dengan tokoh-tokoh penyelamat yang lain.
[Pendapat ini mengatakan bahwa] Tuhan yang Tidak terbatas dan Absolut
menyatakan diri-Nya kepada manusia dalam banyak cara dan di dalam banyak
tokoh historis: Yesus dari Nazareth hanya salah satu dari tokoh-tokoh
ini. Lebih konkretnya, bagi beberapa orang, Yesus hanyalah salah satu
dari banyak wajah yang diambil oleh Sang Sabda di sepanjang waktu untuk
menyampaikan kepada manusia jalan keselamatan.
Selanjutnya, untuk membenarkan ke-universal-an keselamatan Kristiani
[keselamatan bagi semua orang] dan pluralisme religius, diusulkan bahwa
terdapat pembagian Sabda ilahi yang sah, juga di luar Gereja dan tidak
berhubungan dengannya, sebagai tambahan dari pengaturan tentang
Inkarnasi Sang Sabda. Hal yang pertama sifatnya lebih universal daripada
yang kedua, yang terbatas hanya pada umat Kristen, walaupun kehadiran
Tuhan lebih penuh di dalam hal yang kedua.
10. Pandangan- pandangan ini sangat bertentangan dengan iman Kristiani. Ajaran iman harus diimani dengan teguh
yang mewartakan bahwa Yesus dari Nazareth, Putera Maria, dan Ia
sendirianlah yang adalah Putera Allah. Sang Sabda, yang “pada mulanya
bersama-sama dengan Allah” (Yoh 1:2) adalah Ia yang menjelma menjadi
daging (Yoh 1:14). Di dalam Yesus, “Kristus, Putera Allah yang hidup”
(Mat 16:16), “dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan
ke-Allahan” (Kol 2:9). Ia adalah “… Anak Tunggal Allah, yang ada di
pangkuan Bapa” (Yoh 1:18). Ia adalah “Anak-Nya yang kekasih; di dalam
Dia kita memiliki penebusan kita…… Karena seluruh kepenuhan Allah
berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala
sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di
sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus. (Kol
1:13-14; 19-20)
Setia dengan Kitab Suci dan menolak ajaran yang salah, dan
interpretasi-interpretasi yang ‘dikurangi’, maka Konsili pertama di
Nicea mendefinisikan iman ini di dalam: “Tuhan Yesus Kristus, Putera
Allah yang Tunggal. Ia lahir dari Bapa yaitu, dari hakekat Allah Bapa,
Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar,
dilahirkan, bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa, segala sesuatu
dijadikan oleh-Nya, yang di surga dan di bumi. Untuk kita manusia dan
untuk keselamatan kita, Ia turun dan menjelma menjadi manusia, sengsara,
dan bangkit lagi pada hari ketiga. Ia naik ke surga dan akan kembali
mengadili yang hidup dan yang mati.” ((Konsili pertama Nicea, Symbolum Nicaenum:
DS 125)). Mengikuti ajaran para Bapa Gereja, Konsili Chalcedon
mengajarkan, “Putera yang satu dan sama, Tuhan kita Yesus Kristus, yang
sama sempurna di dalam keilahian dan sempurna di dalam kemanusiaan, yang
sama, sungguh-sungguh Tuhan dan sungguh manusia ….., satu sehakekat
dengan Bapa menurut keilahian-Nya dan satu sehakekat dengan kita menurut
kemanusiaan-Nya, berasal dari Bapa sebelum segala abad menurut
keilahian-Nya, dan di hari-hari akhir ini, demi kita dan keselamatan
kita, Putera dari Maria, Perawan Bunda Allah, menurut kemanusiaan-Nya.
((Konsili Chalcedon, Symbolum Chaldonense, DS 301))
Untuk alasan ini, Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Kristus, “Adam
yang baru …’gambaran dari Allah yang tidak kelihatan’ (Kol 1:15) adalah
seorang manusia yang sempurna yang menampakkan keserupaan dengan Tuhan
di dalam keturunan Adam yang telah cacat/ disfigured sejak
adanya dosa yang pertama… Seperti seekor domba yang tak bersalah Ia
memperoleh bagi kita kehidupan dengan darah-Nya yang dicurahkannya
dengan rela. Di dalam Dia, Tuhan mendamaikan kita dengan Diri-Nya dan
antara kita satu sama lain, membebaskan kita dari belenggu Iblis dan
dosa, sehingga setiap kita dapat berkata dengan Rasul Paulus: Putera
Allah “mengasihi aku dan menyerahkan Diri-Nya untuk aku (Gal 2:20)”.
((Second Vatican Council, Pastoral Constitution Gaudium et spes, 22.))
Tentang ini Yohanes Paulus II telah secara eksplisit menyatakan,
“Untuk memperkenalkan suatu bentuk pemisahan antara Sang Sabda dan Yesus
Kristus adalah bertentangan dengan iman Kristiani …. Yesus adalah Sabda
yang menjelma- Seorang yang sama dan tak dapat dibagi…. Kristus tidak
lain adalah Yesus dari Nazareth; Ia adalah Sabda Allah yang menjadi
manusia demi keselamatan semua orang… Di dalam proses penemuan dan
penghargaan karunia-karunia yang berlimpah -terutama harta kekayaan
rohani- yang dicurahkan oleh Tuhan kepada setiap bangsa, kita tidak
dapat memisahkan karunia-karunia itu dari Yesus Kristus, yang ada di
pusat rencana keselamatan Tuhan.” ((Paus Yohanes Paulus II, surat
ensiklik Redemptoris missio, 6.))
Juga bertolakbelakang dengan iman Katolik, pemisahan antara tindakan
penyelamatan dari Sang Sabda tersebut dan tindakan Sang Sabda yang
menjadi manusia. Dengan inkarnasi, semua tindakan penyelamatan dari
Sabda Allah selalu dilakukan di dalam kesatuan dengan kodrat manusia
yang dikenakan-Nya demi keselamatan semua orang. Satu Subyek pelaku yang
bekerja dalam dua kodrat, manusia dan ilahi, adalah seorang Pribadi
dari Sang Sabda. ((Cf. St. Leo the Great, Tomus ad Flavianum: DS 294.))
Oleh karena itu, teori yang menganggap, setelah Inkarnasi, sebuah
tindakan penyelamatan dari Sang Sabda sedemikian seperti di dalam
keilahian-Nya, dilakukan sebagai “tambahan” atau “melampaui” kemanusiaan
Kristus, adalah tidak sejalan dengan iman Katolik. ((Cf. St. Leo the
Great, Letter to the Emperor Leo I Promisisse me memini: DS 318: “…in
tantam unitatem ab ipso conceptu Virginis deitate et humanitate
conserta, ut nec sine homine divina, nec sine Deo agerentur humana”. Cf. also ibid. DS 317.))
11. Serupa dengan itu, ajaran iman tentang keunikan pengaturan rahmat keselamatan yang diinginkan oleh Allah Trinitas harus diimani dengan teguh,
di mana sumber dan pusatnya adalah misteri dan Inkarnasi Sang Sabda,
Pengantara rahmat ilahi pada saat Penciptaan dan Penyelamatan (lih. Kol
1:15-20), Ia yang merangkum semua (lih. Ef 1:10), Ia “yang oleh Allah
telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan
menebus kita” (1 Kor 1:30). Kenyataannya, misteri Kristus mempunyai
kesatuan yang hakiki, yang membentang dari pilihan Tuhan yang ilahi
sampai paraousia [kedatangan Kristus yang kedua]: “Sebab di
dalam Dia [Kristus] Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan,
supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (Ef 1:4); “Di dalam
Kristus, …kami mendapat bagian yang dijanjikan–kami yang dari semula
ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di
dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya– (Ef
1:11); “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga
ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran
Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak
saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga
dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga
dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga
dimuliakan-Nya.” (Rom 8:29-30)
Magisterium Gereja, setia dengan wahyu ilahi, menyatakan kembali
bahwa Yesus Kristus adalah Sang Pengantara dan Penebus umat manusia:
“Sebab Sabda Allah sendiri – karena-Nya segala sesuatu dijadikan – telah
menjadi daging, supaya Ia sebagai manusia yang sempurna menyelamatkan
semua orang dan merangkum segalanya dalam Dirinya. Tuhanlah … yang
ditetapkan Bapa menjadi hakim bagi mereka yang hidup maupun yang mati”.
((Second Vatican Council, Pastoral Constitution Gaudium et spes, 45; cf. also Council of Trent, Decretum de peccato originali,
3: DS 1513.)) Pengantaraan keselamatan ini termasuk juga keunikan dari
korban Kristus yang menyelamatkan, Sang Imam Agung yang abadi (lih. Ibr
6:20; 9: 11; 10:12-14).
12. Ada juga orang-orang yang mengusulkan hipotesa tentang pengaturan
rahmat Roh Kudus dengan sebuah aliran yang lebih universal daripada
Sabda yang menjelma menjadi manusia, disalibkan dan bangkit. Pandangan
ini juga bertentangan dengan iman Katolik, yang sebaliknya, menganggap
Inkarnasi Sang Sabda yang menyelamatkan sebagai kesatuan tindakan/
kejadian Allah Trinitas. Di dalam Perjanjian Baru, misteri Yesus dan
Sang Sabda yang menjelma, merupakan wadah kehadiran Roh Kudus dan juga
sebagai prinsip penyebaran Roh Kudus kepada umat manusia, tidak hanya
pada jaman mesianis (lih. Kis 2:32-36; Yoh 7:39, 20:22; 1 Kor 15:45),
tetapi juga sebelum kedatangan-Nya di dalam sejarah (lih. 1 Kor 10:4; 1
Pet 1:10:12).
Konsili Vatikan II telah mengingat kembali dengan kesadaran tentang
iman Gereja tentang kebenaran yang mendasar ini. Dengan menghadirkan
rencana keselamatan Bapa bagi semua umat manusia, Konsili menghubungkan
eratnya misteri Kristus dengan awal permulaan misteri Roh Kudus. ((Cf.
Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium,
3-4.)) Keseluruhan karya membangun Gereja oleh Yesus Kristus Sang
Kepala, di sepanjang segala abad, dilihat sebagai sebuah tindakan yang
dilakukan-Nya di dalam persekutuan dengan Roh-Nya. ((Cf. ibid., 7; cf.
St. Irenaeus, who wrote that it is in the Church “that communion with
Christ has been deposited, that is to say: the Holy Spirit” (Adversus haereses III, 24, 1: SC 211, 472).))
Selanjutnya, tindakan penyelamatan oleh Yesus Kristus, dengan dan
melalui Roh-Nya, melampaui batas-batas yang kelihatan dari Gereja kepada
semua umat manusia. Berbicara tentang misteri Paska, di mana Kristus
bahkan sekarang menghubungkan umat beriman dengan Diri-Nya sendiri
dengan cara yang hidup di dalam Roh Kudus dan memberikan kepada umat
pengharapan akan kebangkitan, Konsili menyatakan: “Semua ini bukan hanya
berlaku bagi kaum beriman Kristiani, melainkan bagi semua orang yang
berkehendak baik, yang di hatinya rahmat yang tidak kelihatan aktif
berperan. Sebab karena Kristus telah wafat bagi semua orang, dan
panggilan terakhir manusia benar-benar hanya satu, yakni bersifat ilahi,
kita harus berpegang teguh, bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi
semua orang, untuk dengan cara yang diketahui oleh Allah digabungkan
dengan misteri Paska itu”. ((Second Vatican Council, Pastoral
Constitution Gaudium et spes, 22.))
Oleh karena itu, hubungannya jelas antara misteri keselamatan Sabda
yang menjelma dan misteri Roh Kudus, yang merealisasikan kemanjuran
penyelamatan dari Sang Putera yang menjelma menjadi manusia di dalam
kehidupan semua orang, yang dipanggil oleh Tuhan kepada tujuan yang
satu, baik mereka yang secara historis hidup sebelum penjelmaan Sang
Sabda, dan mereka yang hidup setelah kedatangan-Nya di dalam sejarah:
Roh dari Allah Bapa, yang dicurahkan secara melimpah oleh Sang Putera
Allah, adalah yang menghidupkan segalanya (lih. Yoh 3: 34).
Dengan demikian, Magisterium Gereja belakangan ini mengingatkan
kembali dengan teguh dan jelas kebenaran akan sebuah/ satu pengaturan
ilahi: “Kehadiran Roh Kudus dan tindakan-Nya tidak hanya mempengaruhi
pribadi-pribadi tetapi masyarakat dan sejarah, bangsa-bangsa, budaya dan
agama-agama… Kristus yang bangkit ‘sekarang ini sedang bekerja di dalam
hati manusia melalui kekuatan Roh Kudus-Nya’…. Lagi, adalah Roh Kudus
yang menaburkan ‘benih dari Sang Sabda’ yang hadir di dalam berbagai
cara hidup dan budaya, mempersiapkan mereka bagi kedewasaan di dalam
Kristus”. ((John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 28. For the “seeds of the Word” cf. also St. Justin Martyr, Second Apology
8, 1-2; 10, 1-3; 13, 3-6: ed. E.J. Goodspeed, 84; 85; 88-89.))
Sementara mengenali fungsi Roh Kudus yang menyelamatkan secara historis
di seluruh alam semesta dan di dalam seluruh sejarah manusia, ((Cf. John
Paul II, Encyclical Letter, Redemptoris missio, 28-29.))
Magisterium menyatakan: “Ini adalah Roh Kudus yang sama, yang bekerja
pada saat Inkarnasi dan di dalam hidup, kematian dan kebangkitan Yesus,
dan yang kini bekerja di dalam Gereja. Karena itu, Ia bukanlah merupakan
alternatif di samping Kristus ataupun seperti yang kadang diduga, Ia
mengisi kekosongan yang ada antara Kristus dan Sang Sabda. Apapun yang
dihasilkan oleh Roh Kudus di dalam hati manusia dan di dalam sejarah
bangsa-bangsa, di dalam budaya-budaya dan agama-agama, menjadi sebuah
persiapan bagi Injil dan hanya dapat dimengerti dengan mengacu kepada
Kristus, Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia oleh kuasa Roh Kudus
‘sehingga karena Ia adalah sungguh-sungguh manusia, maka Ia dapat
menyelamatkan semua manusia dan merangkum segala sesuatu'”. ((Ibid., 29))
Kesimpulannya, pekerjaan Roh Kudus tidaklah berada di luar ataupun
sejajar dengan pekerjaan Kristus. Hanya ada satu pengaturan keselamatan
dari Allah yang satu dan Tritunggal, yang dinyatakan di dalam misteri
Inkarnasi, kematian dan kebangkitan Putera Allah, yang dilakukan dengan
kerjasama Roh Kudus dan diteruskan di dalam nilai yang menyelamatkan
kepada semua umat manusia dan kepada segenap alam semesta. “Oleh karena
itu, tak seorangpun, yang dapat masuk ke dalam persekutuan dengan Tuhan
kecuali melalui Kristus, dengan kuasa perbuatan Roh Kudus”. ((Ibid., 5))
III. Keunikan dan keuniversalan Misteri Keselamatan oleh Yesus Kristus
13. Tesis yang menolak keunikan dan keselamatan bagi semua orang dari
misteri Yesus Kristus juga diketengahkan di sini. Pandangan semacam ini
tidak mempunyai dasar Alkitabiah. Kenyataannya, kebenaran tentang Yesus
Kristus, Putera Allah, Tuhan dan satu-satunya Penyelamat, yang melalui
kejadian Inkarnasi-Nya, kematian dan kebangkitan-Nya telah membawa
sejarah keselamatan kepada penggenapannya, dan yang mempunyai kepenuhan
dan pusat di dalam diri-Nya, harus diimani dengan teguh sebagai sebuah elemen iman Gereja yang tetap.
Perjanjian Baru menegaskan hal ini dengan jelas: “Dan kami telah
melihat dan bersaksi, bahwa Bapa telah mengutus Anak-Nya menjadi
Juruselamat dunia.” (1 Yoh 4:14) Pada keesokan harinya Yohanes melihat
Yesus datang kepadanya dan ia berkata: “Lihatlah Anak domba Allah, yang
menghapus dosa dunia. (Yoh 1:29). Di dalam pernyataannya di hadapan
Sanhedrin, Petrus, untuk membenarkan penyembuhan seorang laki-laki yang
cacat dari lahir, yang dilakukan di dalam nama Yesus (lih. Kis 3:1-8),
menyerukan: “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di
dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang
diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis
4:12). Rasul Paulus menambahkan, selanjutnya, bahwa Yesus Kristus adalah
“Tuhan di atas segalanya”, “hakim dari yang hidup dan mati”, dan
karenanya, “barang siapa yang percaya kepada-Nya menerima pengampunan
dosa melalui nama-Nya.” (lih. Kis 10:36, 42, 43)
Paulus, kepada jemaat di Korintus, menuliskan: “Sebab sungguhpun ada
apa yang disebut “allah”, baik di sorga, maupun di bumi–dan memang benar
ada banyak “allah” dan banyak “tuhan” yang demikian– namun bagi kita
hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala
sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus
Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena
Dia kita hidup.” (1 Kor 8:5-6) Selanjutnya Rasul Yohanes mengatakan, “Karena
begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya
kepada-Nya tidak binasa, melainkan dapat beroleh hidup yang kekal. Sebab
Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia,
melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yoh 3:16-17) Di dalam
Perjanjian Baru, kehendak Allah yang untuk menyelamatkan semua orang
adalah sangat erat berhubungan dengan Pengantaraan Kristus yang
satu-satunya: “[Tuhan] menghendaki supaya semua orang
diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. Karena Allah itu
esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia,
yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai
tebusan bagi semua manusia: itu kesaksian pada waktu yang ditentukan.”
(1 Tim 2:4-6)
Adalah suatu kesadaran tentang satu karunia keselamatan yang
universal yang ditawarkan oleh Allah Bapa melalui Yesus Kristus di dalam
Roh Kudus (lih. Ef 1:2-14), bahwa jemaat Kristen yang pertama bertemu
dengan bangsa Yahudi, menunjukkan kepada mereka pemenuhan keselamatan
yang terjadi melampaui Hukum Taurat dan, pada saat yang sama, kesadaran,
yang dinyatakan oleh mereka untuk menentang dunia pagan pada jaman
mereka, yang menginginkan keselamatan melalui banyak juru selamat.
Warisan iman ini telah diingatkan kembali oleh Magisterium: “Adapun
Gereja mengimani, bahwa Kristus telah wafat dan bangkit bagi semua orang
(lih. 2 Kor 5:15). Ia mengaruniakan kepada manusia terang dan kekuatan
melalui Roh-Nya, supaya manusia mampu menanggapi panggilannya yang amat
luhur. Dan dibawah langit tidak diberikan kepada manusia nama lain, yang
bagi mereka harus menjadi pokok keselamatan (lih. Kis 4:12). Begitu
pula Gereja percaya, bahwa kunci, pusat dan tujuan seluruh sejarah
manusia terdapat pada Tuhan dan Gurunya”. ((Second Vatican Council,
Pastoral Constitution Gaudium et spes, 10. Cf. St. Augustine,
who wrote that Christ is the way, which “has never been lacking to
mankind… and apart from this way no one has been set free, no one is
being set free, no one will be set free” De civitate Dei 10, 32, 2: CCSL
47, 312))
14. Karena itu, juga harus diimani dengan teguh sebagai
sebuah kebenaran iman Katolik bahwa kehendak Allah yang Satu dan
Trinitas akan keselamatan [umat manusia] secara universal ditawarkan dan
digenapi satu kali dan selama-lamanya di dalam misteri Inkarnasi,
kematian dan kebangkitan Putera Allah.
Dengan memegang artikel iman ini, dewasa ini teologi, di dalam
permenungannya atas keberadaan pengalaman-pengalaman religius yang lain
dan atas makna semua itu di dalam rencana keselamatan Tuhan, diundang
untuk meneliti apabila dan di dalam hal apa tokoh- tokoh sejarah dan
elemen-elemen positif dari agama-agama ini dapat masuk di dalam rencana
ilahi tentang keselamatan. Konsili Vatikan II, telah menyatakan bahwa:
“begitu pula satu-satunya pengantaraan Penebus tidak meniadakan,
melainkan membangkitkan pada makhluk-makhluk aneka bentuk kerja sama
yang berasal dari satu-satunya sumber”. ((Second Vatican Council,
Dogmatic Constitution Lumen gentium, 62)) Isi dari partisipasi
pengantaraan ini harus diteliti dengan lebih mendalam, tetapi harus
tetap konsisten dengan prinsip pengantaraan Kristus yang unik: “meskipun
bentuk- bentuk partisipasi dalam pengantaraan di berbagai cara dan
derajatnya tidak diabaikan, mereka memperoleh maknanya dan nilainya hanya
dari Pengantaraan Kristus sendiri, dan mereka tidak dapat dipahami
sebagai sesuatu yang sejajar ataupun melengkapi terhadap Pengantaraan
Kristus”. ((John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio,
5.)) Oleh karena itu, solusi-solusi tersebut yang mengusulkan sebuah
tindakan penyelamatan Allah yang melampaui Pengantaraan Kristus yang
satu- satunya, bertentangan dengan iman Kristiani dan iman Katolik.
15. Tidak jarang, dikatakan bahwa teologi harus menghindari
penggunaan istilah- istilah seperti “keunikan”, “keuniversalan” dan
“keabsolutan”, yang memberi kesan penekanan yang berlebihan pada
keutamaan dan nilai penyelamatan Yesus Kristus dalam hubungannya dengan
agama-agama lain. Namun pada kenyataannya, istilah itu hanyalah karena
kesetiaan kepada wahyu, karena hal itu menyampaikan perkembangan
sumber- sumber iman itu sendiri. Sejak awal mula, para umat beriman
telah mengenali sebuah nilai keselamatan di dalam Yesus, bahwa Ia
sendiri, sebagai Putera Allah yang menjelma menjadi manusia, disalibkan
dan bangkit, dengan misi yang diterima dari Allah Bapa dan dengan kuasa
Roh Kudus, mencurahkan wahyu (lih. Mat 11:27) dan kehidupan ilahi (lih.
Yoh 1:12; 5:25-26; 17:2) kepada semua umat manusia dan kepada setiap
orang.
Dalam hal ini, seseorang dapat dan harus mengatakan bahwa Yesus
Kristus mempunyai sebuah keutamaan dan sebuah nilai bagi umat manusia
dan sejarahnya, yang unik dan satu- satunya…, eksklusif, universal dan
absolut. Yesus adalah, Sabda Allah yang menjelma menjadi manusia untuk
keselamatan semua orang. Di dalam mengekspresikan kesadaran iman ini,
Konsili Vatikan II mengajarkan: “Sebab Sabda Allah sendiri – karena-Nya
segala sesuatu dijadikan – telah menjadi daging, supaya Ia sebagai
manusia yang sempurna menyelamatkan semua orang dan merangkum segalanya
dalam Dirinya. Tuhanlah tujuan sejarah manusia, titik-sasaran
dambaan-dambaan sejarah maupun peradaban, pusat umat manusia,
kegembiraan hati semua orang dan pemenuhan aspirasi-aspirasi mereka.
Dialah yang oleh Bapa dibangkitkan dari kematian, ditinggikan dan
ditempatkan disisi kanan-Nya; Dialah yang ditetapkan-Nya menjadi hakim
bagi mereka yang hidup maupun yang mati”. ((Second Vatican Council,
Pastoral Constitution Gaudium et spes, 45. The necessary and
absolute singularity of Christ in human history is well expressed by St.
Irenaeus in contemplating the preeminence of Jesus as firstborn Son:
“In the heavens, as firstborn of the Father’s counsel, the perfect Word
governs and legislates all things; on the earth, as firstborn of the
Virgin, a man just and holy, reverencing God and pleasing to God, good
and perfect in every way, he saves from hell all those who follow him
since he is the firstborn from the dead and Author of the life of God”
(Demonstratio apostolica, 39: SC 406, 138) )). “Justru keunikan Kristus
inilah yang memberikanNya sebuah keutamaan yang absolut dan universal,
yang walaupun menjadi bagian dari sejarah, Ia tetap menjadi pusat dan
tujuan: ‘Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir’ “. ((John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 6))
IV. Keunikan dan kesatuan Gereja Katolik
16. Tuhan Yesus Kristus, dan satu-satunya Penyelamat, tidak hanya
mendirikan sebuah komunitas sederhana yang terdiri dari murid-murid-Nya,
tetapi mendirikan Gereja sebagai sebuah misteri yang menyelamatkan:
Ia sendiri ada dalam Gereja dan Gereja ada dalam Dia (lih. Yoh 15:1ff.;
Gal 3:28; Ef 4:15-16; Kis 9:5). Oleh karena itu, kepenuhan misteri
Kristus yang menyelamatkan menjadi milik Gereja dan tidak dapat
dipisahkan dengan Tuhannya. Sungguh, Yesus Kristus melanjutkan
kehadiran-Nya dan pekerjaan keselamatan di dalam Gereja dan melalui
Gereja (lih. Kol 1:24-27) ((Cf. Second Vatican Council, Dogmatic
Constitution Lumen gentium, 14)), yang adalah Tubuh-Nya (cf. 1 Kor 12:12-13, 27; Kol 1:18). ((Cf. ibid.,
7)) Dan oleh karenanya, seperti kepala dan anggota-anggota tubuh dalam
sebuah tubuh yang hidup, meskipun tidak sama, tapi tidak dapat
dipisahkan, maka demikian juga Kristus dengan Gereja juga tidak dapat
dicampur-baurkan atau dipisahkan, dan merupakan sebuah “keseluruhan
Kristus” ((Cf. St. Augustine, Enarratio in Psalmos, Ps. 90, Sermo 2,1:
CCSL 39, 1266; St. Gregory the Great, Moralia in Iob, Praefatio, 6, 14:
PL 75, 525; St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, III, q. 48,
a. 2 ad 1.)). Ketidakterpisahan ini juga dinyatakan di dalam Perjanjian
Baru dengan analogi Gereja sebagai Mempelai Kristus (lih. 2 Cor 11:2;
Eph 5:25-29; Rev 21:2,9). ((Cf. Second Vatican Council, Dogmatic
Constitution Lumen gentium, 6))
Oleh karena itu, di dalam hubungan dengan keunikan dan Pengantaraan
Yesus Kristus yang menyelamatkan semua umat manusia, keunikan Gereja
yang didirikan oleh-Nya harus diimani dengan teguh sebagai
sebuah kebenaran iman Katolik. Seperti bahwa hanya terdapat satu
Kristus, maka hanya terdapat satu Tubuh Kristus, satu Mempelai Kristus:
“sebuah Gereja yang satu dan apostolik”. ((Symbolum maius Ecclesiae Armeniacae: DS 48. Cf. Boniface VIII, Unam sanctam: DS 870-872; Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium,
8.)) Selanjutnya, janji-janji Tuhan bahwa Ia tidak akan meninggalkan
Gereja-Nya (lih. Mat 16:18; 28:20) dan bahwa Ia akan membimbingnya
dengan Roh Kudus-Nya (lih. Yoh 16:13) berarti, menurut iman Katolik,
bahwa keunikan dan kesatuan Gereja – seperti segala sesuatu yang menjadi
milik keutuhan Gereja- tidak akan pernah kurang. ((Cf. Second Vatican
Council, Decree Unitatis redintegratio, 4; John Paul II, Encyclical Letter Ut unum sint, 11: AAS 87 (1995), 927.))
Umat Katolik disyaratkan untuk mengakui bahwa terdapat kesinambungan historis- yang berakar dari rantai apostolik ((Cf. Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium,
20; cf. also St. Irenaeus, Adversus haereses, III, 3, 1-3: SC 211,
20-44; St. Cyprian, Epist. 33, 1: CCSL 3B, 164-165; St. Augustine,
Contra adver. legis et prophet., 1, 20, 39: CCSL 49, 70.)) – antara
Gereja yang didirikan Kristus dengan Gereja Katolik: “Itulah
satu-satunya Gereja Kristus … Sesudah kebangkitan-Nya Penebus kita
menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan (lih. Yoh 21:17). Ia
mempercayakannya kepada Petrus dan para rasul lainnya untuk
diperluaskan dan dibimbing (lih. Mat 28:18 dsl), dan mendirikannya untuk
selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (lih. 1Tim
3:15). Gereja itu, yang didunia ini disusun dan diatur sebagai serikat,
berada [subsistit in] dalam Gereja katolik, yang dipimpin oleh
pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya”. ((Second
Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 8.)) Dengan istilah subsistit
ini, Konsili Vatikan II menyelaraskan dua pernyataan doktrin: di satu
sisi, bahwa Gereja Kristus, meskipun terbagi-bagi di antara umat
Kristen, tetaplah terus berada dalam kepenuhannya hanya di dalam Gereja
Katolik dan di sisi lain, bahwa “di luar strukturnya, dapat ditemukan
banyak elemen pengudusan dan kebenaran”, ((Ibid.; cf. John Paul II,
Encyclical Letter Ut unum sint, 13. Cf. also Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 15 and the Decree Unitatis redintegratio,
3.)), yaitu di dalam Gereja- gereja dan komunitas eklesial yang belum
bersatu dengan penuh dengan Gereja Katolik. ((The interpretation of
those who would derive from the formula subsistit in the thesis
that the one Church of Christ could subsist also in non-Catholic
Churches and ecclesial communities is therefore contrary to the
authentic meaning of Lumen gentium. “The Council instead chose the word
subsistit precisely to clarify that there exists only one ‘subsistence’
of the true Church, while outside her visible structure there only
existelementa Ecclesiae, which — being elements of that same Church —
tend and lead toward the Catholic Church” (Congregation for the Doctrine
of the Faith, Notification on the Book “Church: Charism and Power” by
Father Leonardo Boff: AAS 77 [1985], 756-762).)) Tetapi berkenaan dengan
hal ini, perlu dikatakan bahwa, “…hanya melalui Gereja Kristus yang
katoliklah, yakni upaya umum untuk keselamatan, dapat dicapai seluruh
kepenuhan upaya-upaya penyelamatan”. ((Second Vatican Council, Decree Unitatis redintegratio, 3.))
17. Dengan demikian, terdapat sebuah Gereja Kristus, yang berada di
dalam Gereja Katolik, dipimpin oleh Penerus Rasul Petrus dan dengan para
Uskup dengan persekutuan dengannya. ((Cf. Congregation for the Doctrine
of the Faith, Declaration Mysterium Ecclesiae, 1: AAS 65
(1973), 396-398.)) Gereja -gereja yang, sementara ini tidak dalam
persekutuan yang sempurna dengan Gereja Katolik, tetap bersatu dengannya
melalui ikatan yang terdekat, yaitu dengan rantai apostolik dan
Ekaristi yang sah, adalah Gereja-gereja partikular yang sejati. ((Cf.
Second Vatican Council, Decree Unitatis redintegratio, 14 and 15;
Congregation for the Doctrine of the Faith, Letter Communionis notio,
17: AAS 85 (1993), 848.)). Karena itu, Gereja Kristus hadir dan bekerja
juga di dalam Gereja- gereja ini, meskipun mereka kurang dalam
persekutuan penuh dengan Gereja Katolik, karena mereka tidak menerima
ajaran Katolik tentang Keutamaan Paus, yang menurut kehendak Tuhan,
telah secara obyektif dimiliki dan dilaksanakanoleh Uskup Roma terhadap
seluruh Gereja. ((Cf. First Vatican Council, Constitution Pastor
aeternus: DS 3053-3064; Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 22.))
Di lain pihak, komunitas-komunitas eklesial yang tidak mempertahankan
Episkopat yang sah dan hakekat misteri Ekaristi yang asli dan
menyeluruh, ((Cf. Second Vatican Council, Decree Unitatis redintegratio,
22.)) tidak dapat disebut sebagai Gereja dalam arti yang sebenarnya;
namun demikian mereka yang dibaptis di dalam komunitas ini adalah,
dengan Pembaptisan, tergabung di dalam Kristus dan karenanya di dalam
persekutuan tertentu, walaupun tidak sempurna, dengan Gereja. ((Cf. ibid.,
3.)) Pembaptisan, sesungguhnya cenderung mengarah kepada perkembangan
hidup yang penuh di dalam Kristus, melalui pengakuan iman yang
menyeluruh, Ekaristi, dan persekutuan yang sempurna di dalam Gereja
((Cf. ibid., 22.)).
“Karena itu, umat Kristiani tidak diijinkan untuk membayangkan bahwa
Gereja Kristus adalah tidak lebih dari sekedar sebuah kumpulan –
terbagi-bagi, tetapi dikatakan satu- dari Gereja-gereja dan komunitas
eklesial; ataupun mereka tidak boleh menganggap bahwa sekarang ini
Gereja Kristus tidak benar- benar ada, dan menganggap sebagai hanya
sebuah tujuan yang harus dicapai dengan kerja keras oleh semua
Gereja-gereja dan komunitas-komunitas eklesial.” ((Congregation for the
Doctrine of the Faith, Declaration Mysterium Ecclesiae, 1.))
Sebenarnya, “elemen-elemen yang telah diberikan kepada Gereja, ada dan
tergabung bersama di dalam kepenuhannya di dalam Gereja Katolik dan,
tanpa kepenuhannya, di dalam komunitas-komunitas yang lain”. ((John Paul
II, Encyclical Letter Ut unum sint, 14.)) “Oleh karena itu
Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat yang terpisah, walaupun menurut
pandangan kita diwarnai oleh kekurangan-kekurangan, sama sekali bukannya
tidak berarti atau bernilai dalam misteri keselamatan. Sebab Roh
Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai upaya-upaya
keselamatan, yang kekuatannya bersumber pada kepenuhan rahmat serta
kebenaran sendiri, yang dipercayakan kepada Gereja Katolik.” ((Second
Vatican Council, Decree Unitatis redintegratio, 3.))
“Kekurangan kesatuan di antara umat Kristiani tentu adalah sebuah luka
bagi Gereja; tidak dalam arti bahwa ia kehilangan kesatuannya, tetapi
“bahwa hal itu menghambat pemenuhan yang lengkap dari ke-universalannya
di dalam sejarah”. ((Congregation for the Doctrine of the Faith, Letter Communionis notio, 17; cf. Second Vatican Council, Decree Unitatis redintegratio, 4.))
V. Gereja Katolik: Kerajaan Tuhan dan Kerajaan Kristus
18. Misi Gereja adalah untuk “mewartakan Kerajaan Kristus dan
Kerajaan Allah, dan mendirikannya ditengah semua bangsa. Gereja
merupakan benih dan awal mula Kerajaan itu di dunia” ((Second Vatican
Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 5.)). Di satu
sisi, Gereja adalah “sebuah sakramen – “yakni tanda dan sarana persatuan
mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia”. ((Ibid.,
1.)) Karena itu, ia adalah tanda dan alat kerajaan; ia dipanggil untuk
mempermaklumkan dan mendirikan kerajaan. Di sisi lainnya, Gereja adalah
“umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh
Kudus”. ((Ibid., 4. Cf. St. Cyprian, De Dominica oratione 23:
CCSL 3A, 105.)); dengan demikian, ia adalah “kerajaan Kristus yang sudah
hadir dalam misteri” ((Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 3.)) dan merupakan benihnya dan permulaannya.
Kerajaan Allah, sesungguhnya, mempunyai segi eskatoligis: hal itu
adalah realitas di saat ini, tetapi realisasi sepenuhnya hanya akan
dicapai dengan penggenapan atau pemenuhan sejarah. ((Cf. ibid., 9; cf.
also the prayer addressed to God found in the Didache 9,4: SC 248, 176:
“May the Church be gathered from the ends of the earth into your
kingdom” and ibid. 10, 5: SC 248, 180: “Remember, Lord, your Church…
and, made holy, gather her together from the four winds into your
kingdom which you have prepared for her”.))
Arti istilah-istilah kerajaan surga, kerajaan Allah dan kerajaan Kristus
di dalam Kitab Suci dan tulisan para Bapa Gereja, juga di dalam
dokumen-dokumen Magisterium, tidak selalu sama persis, demikian juga
hubungan-hubungan mereka dengan Gereja, yang adalah sebuah misteri yang
tidak dapat dipahami secara total oleh pemikiran manusia. Oleh karena
itu, terdapat berbagai penjelasan teologis dari istilah-istilah ini.
Namun demikian, tidak satupun dari penjelasan- penjelasan yang mungkin
ini sama sekali dapat menolak atau meniadakan hubungan yang akrab antara
Kristus, kerajaan dan Gereja. Nyatanya, kerajaan Allah yang kita
ketahui dari wahyu, “tidak dapat dipisahkan baik dari Kristus atau dari
Gereja… Jika kerajaan dipisahkan dari Kristus, itu bukan lagi kerajaan
Allah yang diwahyukan-Nya. Hasilnya adalah sebuah distorsi tentang makna
kerajaan, yang beresiko diubah menjadi sebuah tujuan yang murni dari
manusia atau ideologis dan sebuah distorsi tentang identitas Kristus,
yang tidak lagi tampil sebagai Tuhan, yang kepada-Nya setiap ciptaan
suatu hari nanti akan tunduk (lih. 1 Kor 15:27). Karena itu, seseorang
tidak boleh memisahkan kerajaan dengan Gereja. Adalah benar bahwa Gereja
bukan sebuah akhir dari dirinya sendiri, sebab ia diarahkan menuju
kerajaan Allah, yang mana ia adalah benihnya, tanda dan alat. Tetapi,
sementara tetap berbeda dari Kristus dan kerajaan, Gereja disatukan
secara tak terceraikan dengan keduanya. ((John Paul II, Encyclical
Letter Redemptoris missio, 18; cf. Apostolic Exhortation Ecclesia in Asia,
17: L’Osservatore Romano (November 7, 1999). The kingdom is so
inseparable from Christ that, in a certain sense, it is identified with
him (cf. Origen, In Mt. Hom., 14, 7: PG 13, 1197; Tertullian, Adversus Marcionem, IV, 33,8: CCSL 1, 634.))
19. Untuk menyatakan hubungan yang tak terceraikan antara Kristus dan
kerajaan adalah tidak untuk mengabaikan kenyataan bahwa kerajaan Allah –
meskipun jika dianggap di dalam tahap historis- tidak diidentifikasikan
dengan Gereja di dalam realitasnya yang kelihatan dan bersifat sosial.
Kenyataannya, “tindakan Kristus dan Roh Kudus di luar batas- batas
Gereja yang kelihatan” tidak boleh diabaikan. ((John Paul II, Encyclical
Letter Redemptoris missio, 18.)) Sehingga, seseorang harus
juga mengingat bahwa, “kerajaan menyangkut semua orang: pribadi-pribadi,
masyarakat dan dunia. Bekerja untuk kerajaan berarti mengakui dan
memajukan pekerjaan Allah, yang hadir di sejarah manusia dan
mengubahnya. Membangun kerajaan berarti bekerja bagi pembebasan dari
kejahatan di dalam segala bentuknya. Singkatnya, kerajaan Allah adalah
perwujudan dan realisasi rencana keselamatan Allah di dalam segala
kepenuhannya”. ((Ibid., 15.))
Dalam mempertimbangkan hubungan antara kerajaan Allah, kerajaan
Kristus dan Gereja, adalah penting untuk menghindari penekanan yang tak
berimbang, seperti dalam kasus dengan “pengertian-pengertian itu yang
secara sengaja menekankan kerajaan dan yang menjabarkan mereka sendiri
sebagai ‘kerajaan terpusat’. Mereka menekankan gambaran sebuah Gereja
yang tidak peduli terhadap dirinya sendiri, tetapi yang sepenuhnya
peduli untuk menjadi saksi dan melayani kerajaan. Ia adalah sebuah
‘Gereja bagi sesama,’ seperti Kristus adalah ‘manusia bagi sesama’….
Bersamaan dengan hal- hal positif, konsep-konsep ini sering menyatakan
hal-hal negatif juga. Pertama, mereka bungkam tentang Kristus: kerajaan
yang mereka bicarakan adalah berdasarkan ‘teosentris’, karena menurut
mereka, Kristus tidak dapat dimengerti oleh mereka yang kurang beriman
Kristiani, sedangkan bangsa-bangsa yang berbeda, budaya-budaya, dan
agama-agama dapat menemukan dasar bersama di dalam sebuah realitas
ilahi, dengan nama apapun juga. Dengan alasan yang sama, mereka
menempatkan penekanan besar pada misteri penciptaan, yang dicerminkan di
dalamnya keanekaragaman budaya dan kepercayaan, tetapi mereka bungkam
tentang misteri penebusan dosa. Selanjutnya, kerajaan, seperti yang
dimengerti oleh mereka, berakhir dengan entah meninggalkan sangat
sedikit ruang bagi Gereja atau merendahkan nilai Gereja sebagai reaksi
terhadap sebuah anggapan ‘eklesiosentrism’ di masa lalu dan karena
mereka menanggap Gereja sendiri hanya sebagai sebuah tanda, untuk hal
itu, tanda yang tidak tanpa banyak arti/ ambigu.” ((Ibid.,
17.)). Thesis- thesis ini bertentangan dengan iman Katolik sebab mereka
menolak keunikan hubungan yang dimiliki oleh Kristus dan Gereja dengan
kerajaan Allah.
VI. Gereja Katolik dan agama-agama lain di dalam hubungannya dengan keselamatan
20. Dari apa yang telah dinyatakan di atas, timbul beberapa butir
yang penting untuk permenungan teologis sebab hal itu menjelaskan
hubungan Gereja dan agama-agama lain dalam hal keselamatan.
Di atas segalanya, haruslah diimani dengan teguh bahwa
“Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya
satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi
kita dalam tubuh-Nya, yakni Gereja. Dengan jelas-jelas menegaskan
perlunya iman dan baptis (lih. Mrk 16:16; Yoh 3:5). Kristus sekaligus
menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui baptis
bagaikan pintunya’. ((Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 14; cf. Decree Ad gentes, 7; Decree Unitatis redintegratio,
3.)) Ajaran ini harus tidak ditempatkan berlawanan dengan kehendak
keselamatan Tuhan yang bersifat universal: Gereja yang satu adalah
pengantara dan jalan keselamatan (cf. 1 Tim 2:4); “Adalah penting untuk
menjaga dua kebenaran ini bersama-sama, yaitu, kemungkinan yang nyata
akan keselamatan di dalam Kristus untuk semua umat manusia dan
pentingnya Gereja untuk keselamatan ini.” ((John Paul II, Encyclical
Letter Redemptoris missio, 9; cf. Catechism of the Catholic Church, 846-847.))
Gereja adalah “sakramen keselamatan bagi semua orang” ((Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium,
48.)), karena, selalu bersatu secara misterius dengan Sang Juru Selamat
Yesus Kristus, Kepalanya, dan tunduk kepada-Nya, ia mempunyai, di dalam
rencana Tuhan, sebuah hubungan yang sangat diperlukan dengan
keselamatan setiap manusia. ((Cf. St. Cyprian, De catholicae ecclesiae unitate, 6: CCSL 3, 253-254; St. Irenaeus, Adversus haereses, III, 24, 1: SC 211, 472-474.)) Bagi mereka yang bukan merupakan anggota resmi dan yang kelihatan (visible)
dari Gereja, “keselamatan di dalam Kristus dicapai dengan kebajikan
rahmat, yang ketika mempunyai hubungan yang misterius dengan Gereja,
tidak membuat mereka secara resmi bagian dari Gereja, tetapi [rahmat
ini] menerangi mereka di dalam cara yang diakomodasikan dengan situasi
rohani dan jasmani mereka. Rahmat ini datang dari Kristus; rahmat ini
adalah hasil dari kurban-Nya dan disampaikan oleh Roh Kudus”; ((John
Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 10.)); ia
[rahmat ini] mempunyai sebuah hubungan dengan Gereja, yang “berasal dari
perutusan Putera dan perutusan Roh Kudus menurut rencana Allah Bapa”.
((Second Vatican Council, Decree Ad gentes, 2. The famous formula extra Ecclesiam nullus omnino salvatur
is to be interpreted in this sense (cf. Fourth Lateran Council, Cap. 1.
De fide catholica: DS 802). Cf. also the Letter of the Holy Office to
the Archbishop of Boston: DS 3866-3872.))
21. Dengan memperhatikan cara yang di dalamnya rahmat Allah
yang menyelamatkan – yang diberikan selalu melalui Kristus di dalam Roh
Kudus dan mempunyai sebuah hubungan yang misterius dengan Gereja- datang
kepada pribadi yang non- Kristiani, Konsili Vatikan II membatasi
dirinya kepada pernyataan bahwa Tuhan memberikan hal itu “dengan cara
yang diketahui oleh Diri-Nya sendiri.” ((Second Vatican Council, Decree Ad gentes,
7.)) Para teolog sedang mencari untuk memahami masalah ini dengan lebih
penuh. Pekerjaan mereka harus didukung, sebab itu tentunya sangat
berguna bagi pemahaman yang lebih baik tentang rencana keselamatan dan
cara- cara yang melaluinya hal itu diwujudkan. Namun demikian, dari apa
yang telah disebutkan di atas tentang Pengantaraan Yesus Kristus dan
“keunikan dan hubungan yang khusus” ((John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio,
18.)) yang dimiliki oleh Gereja dengan kerajaan Allah di antara
manusia- yang pada hakekatnya adalah kerajaan universal Kristus Sang
Penyelamat- adalah jelas bahwa menjadi bertentangan dengan iman, untuk
menganggap Gereja sebagai satu jalan keselamatan yang ada
berdampingan dengan jalan-jalan agama- agama lain, yang dilihat sebagai
yang melengkapi Gereja atau yang secara hakiki sama dengannya, meskipun
jika ini dikatakan sebagai pertemuan dengan Gereja menuju kerajaan Tuhan
di akhir jaman.
Jelaslah, berbagai tradisi religius mencakup dan menawarkan
elemen-elemen religius yang datang dari Tuhan, ((These are the seeds of
the divine Word (semina Verbi), which the Church recognizes with joy and
respect (cf. Second Vatican Council, Decree Ad gentes, 11; Declaration Nostra aetate,
2).)) dan yang mana bagian dari apa “yang dihasilkan oleh Roh Kudus di
dalam hati umat manusia dan di dalam sejarah bangsa-bangsa, di dalam
budaya-budaya dan agama-agama”. ((John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio,
29.)) Sungguh, beberapa doa dan ritual dari beberapa agama dapat
mengambil sebuah peran persiapan bagi Injil, dalam hal bahwa mereka
adalah kesempatan-kesempatan dan bantuan-bantuan yang mendidik di mana
hati manusia didorong untuk menjadi terbuka terhadap pekerjaan Allah.
((Cf. ibid.; Catechism of the Catholic Church, 843.)) Namun demikian,
seseorang tidak dapat menganggap hal-hal ini, [sebagai] sebuah sumber
ilahi atau sebuah ex opere operato kemanjuran keselamatan, yang layaknya pada sakramen-sakramen Kristiani. ((Cf. Council of Trent, Decretum de sacramentis,
can. 8, de sacramentis in genere: DS 1608.)) Selanjutnya, tidak dapat
diabaikan bahwa ritual-ritual yang lain jika mereka tergantung pada
tahyul dan kesalahan- kesalahan yang lain (cf. 1 Kor 10:20-21),
merupakan sebuah penghalang keselamatan. ((Cf. John Paul II, Encyclical
Letter Redemptoris missio, 55.))
22. Dengan kedatangan Sang Juru Selamat Yesus Kristus, Tuhan telah
meginginkan bahwa Gereja yang didirikan-Nya menjadi alat bagi
keselamatan semua manusia (lih. Kis 17:30-31). ((Cf. Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 17; John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio,
11.)) Kebenaran iman ini tidak mengurangi penghormatan yang tulus yang
dimiliki oleh Gereja terhadap agama-agama di dunia, tetapi pada saat
yang sama, Gereja mengatasi, dengan cara yang radikal, mentalitas acuh
tak acuh, “yang ditandai dengan sebuah relativisme religius yang
mengarah kepada kepercayaan bahwa ‘suatu agama adalah sama bagusnya
dengan agama yang lainnya’ “. ((John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 36.)) Jika itu benar bahwa para pengikut agama-agama lain dapat menerima rahmat ilahi, maka pastilah, secara obyektif,
mereka berada dalam keadaan yang sungguh kurang jika dibandingkan
dengan dengan mereka yang berada di dalam Gereja, yang mempunyai
kepenuhan sarana keselamatan. ((Cf. Pius XII, Encyclical Letter Mystici corporis:
DS 3821.)) Namun demikian, “Pun hendaklah semua Putera Gereja
menyadari, bahwa mereka menikmati keadaan yang istimewa itu bukan karena
jasa-jasa mereka sendiri, melainkan berkat rahmat Kristus yang istimewa
pula. Dan bila mereka tidak menanggapi rahmat itu dengan pikiran,
perkataan dan perbuatan, mereka bukan saja tidak diselamatkan, malahan
akan diadili lebih keras”. ((Second Vatican Council, Dogmatic
Constitution Lumen gentium, 14.)) Karena itu, seseorang
memahami bahwa mengikuti perintah Tuhan (lih. Mat 28:19-20) dan sebagai
sebuah persyaratan dari kasihnya kepada semua orang, Gereja “tiada
hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan,
kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan
hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan
diri-Nya”. ((Second Vatican Council, Declaration Nostra aetate, 2.))
Di dalam dialog antar agama, kegiatan misi ad gentes
“sekarang ini seperti selalu tetap sepenuhnya mempunyai daya-kekuatan
dan sifat keharusannya”. ((Second Vatican Council, Decree Ad gentes,
7.)). “Sungguh, Tuhan menghendaki “supaya semua orang diselamatkan dan
memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim 2:4); yaitu Allah
menghendaki supaya semua orang sampai kepada keselamatan melalui
pengetahuan akan kebenaran. Keselamatan terdapat dalam kebenaran. Barang
siapa taat kepada dorongan Roh Kebenaran, ia sudah berada di jalan
menuju keselamatan: tetapi Gereja, kepada siapa dipercayakan kebenaran
ini, harus memperhatikan kerinduan manusia dan membawakan kebenaran itu
kepadanya. Oleh karena Gereja percaya kepada keputusan keselamatan yang
mencakup semua manusia, maka ia harus bersifat misioner”. ((Catechism of the Catholic Church,
(Katekismus Gereja Katolik) 851; cf. also 849-856.)). Oleh karena itu,
dialog antar agama, sebagai bagian dari misi evangelisasi, adalah hanya
salah satu tindakan-tindakan Gereja di dalam misinya di seluruh bangsa/ad gentes. ((Cf. John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 55; Apostolic Exhortation Ecclesia in Asia, 31.)) Kesetaraan,
yang merupakan sebuah persyaratan kondisi awal dari dialog antar agama,
mengacu kepada persamaan martabat pribadi dari pihak-pihak di dalam
dialog, tidak dari isi pengajarannya, atau bahkan kurangnya posisi Yesus
Kristus- yang adalah Tuhan sendiri yang menjadi manusia- dalam
hubungannya dengan agama-agama lain. Sungguh, Gereja, yang dibimbing
oleh kasih dan hormat bagi kemerdekaan, ((Cf. Second Vatican Council,
Declaration Dignitatis humanae, 1.)) harus pada dasarnya
berkomitmen untuk mewartakan kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan kepada
segala bangsa, dan untuk mengumumkan pentingnya pertobatan kepada Yesus
Kristus dan perlekatan kepada Gereja melalui Baptisan dan
sakramen-sakramen yang lain, agar dapat mengambil bagian secara penuh di
dalam persekutuan dengan Tuhan, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Jadi,
kepastian tentang kehendak Allah untuk menyelamatkan semua orang tidak
mengurangi, tetapi sebaliknya meningkatkan tugas dan keadaan mendesak
tentang pewartaan keselamatan dan pertobatan kepada Tuhan Yesus Kristus.
Kesimpulan
23. Maksud Deklarasi ini, dalam hal mengulangi dan
menegaskan kembali kebenaran-kebenaran tertentu dari iman, telah
mengikuti teladan dari Rasul Paulus, yang menulis kepada umat di
Korintus: “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu
apa yang telah kuterima sendiri.” (1 Kor 15:3). Berhadapan dengan
anggapan- anggapan tertentu yang problematik dan salah, permenungan
teologis dipanggil untuk menguatkan kembali iman Gereja, dan untuk
memberikan alasan- alasan bagi pengharapannya dengan cara yang
meyakinkan dan efektif.
Untuk menanggapi pertanyaan tentang agama yang sejati, para Bapa
Konsili Vatikan II mengajarkan: “Kita percaya, bahwa satu-satunya Agama
yang benar itu berada dalam Gereja katolik dan apostolik, yang oleh
Tuhan Yesus diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang,
ketika bersabda kepada para Rasul: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa
murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus,
dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan
kepadamu” (Mat 28:19-20). Adapun semua orang wajib mencari kebenaran,
terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya. Sesudah mereka
mengenal kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya”. ((Ibid.))
Wahyu Kristus akan terus menjadi “bintang pedoman sejati” ((John Paul II, Encyclical Letter Fides et ratio,
15.)) dalam sejarah umat manusia: “Kebenaran, yang adalah Kristus,
menekankan sendiri sebagai sebuah otoritas yang menjangkau semua”. ((Ibid.,
92.)) Misteri Kristiani, pada kenyataannya, mengatasi semua penghalang
waktu dan ruang, dan mencapai kesatuan keluarga besar umat manusia:
“Dari tempat-tempat dan tradisi- tradisi mereka yang berbeda, semua
[manusia] dipanggil di dalam Kristus untuk mengambil bagian di dalam
kesatuan keluarga anak-anak Allah…. Yesus menghancurkan tembok-tembok
pemisah dan menciptakan kesatuan di dalam sebuah cara yang baru dan tak
terlampaui melalui keterlibatan kita di dalam misteri-Nya. Kesatuan ini
adalah sangat dalam sehingga Gereja dapat berkata dengan Rasul Paulus:
“Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan
sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah… ” (Ef
2:19). (( Ibid., 70.))
Imam Agung Yohanes Paulus II, pada saat Audiensi 16 Juni 2000,
memberikan jaminan kepada Kardinal Prefek dari Kongregasi untuk Doktrin
Iman (CDF) yang menandatangani di bawah ini, dengan pengetahuan yang
pasti dan dengan otoritas apostolik, meratifikasi dan menyetujui
Deklarasi ini, mengambilnya di dalam Sesi Plenary (keseluruhan) dan
memerintahkan publikasinya.
Roma, dari Kantor Kongregasi untuk Doktrin Iman (CDF), 6 Agustus
2000, pada Pesta Transfigurasi, Yesus dimuliakan di atas gunung Tabor.
Kardinal Yosef Ratzinger
Prefek
Tarcisio Bertone, S.D.B
Uskup Agung Emeritus Vercelli
Sekretaris