Sabtu, 16 Februari 2019

thumbnail

Seruan Uskup Agung Semarang menyambut Pemilihan Umum 17 April 2019


JADILAH PEMILIH BERIMAN, CERDAS, DAN BIJAKSANA SEBAGAI PERWUJUDAN RASA CINTA TANAH AIR INDONESIA


Saudari-saudara, umat Katolik di Keuskupan Agung Semarang yang terkasih,

Pada 17 April 2019 mendatang, kita Bangsa Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Pemilu merupakan salah satu sarana penting pelaksanaan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu sikap meremehkan atau memanipulasi dan merekayasa proses dan hasil pemilu oleh pihak mana pun merupakan pelanggaran serius atas hak rakyat dan martabat warga negara, serta pada taraf tertentu dapat meniadakan kedaulatan rakyat itu sendiri.

Maka sebagai gembala umat di Keuskupan Agung Semarang ini, saya menyatakan bahwa umat Katolik harus berperanserta dan bertanggungjawab atas pemilu tersebut dengan menjadi pemilih yang beriman, cerdas, dan bijaksana sebagai perwujudan rasa cinta Tanah Air Indonesia. Demikian juga bagi yang terpanggil dan terlibat sebagai penyelenggara pemilu di berbagai tingkat harus menjalankan tugasnya dengan penuh tanggungjawab dan independen.

Menjadi pemilih beriman artinya menggunakan hak pilih secara benar-benar bebas dan berdasar hati nurani sebagai pertanggungjawaban serta perwujudan imannya. Menjadi pemilih cerdas artinya mampu menggunakan hak pilihnya berdasarkan analisa dan perhitungan yang cermat serta pengenalan yang cukup atas para peserta Pemilu. Sedangkan menjadi pemilih bijaksana artinya tidak mudah diombang-ambingkan oleh bermacam-macam godaan seperti transaksi jual beli suara, money politics (politik uang), janji-janji manis, maupun pengaruh lainnya yang mengakibatkan pribadinya tidak benar-benar bebas. Sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan pilihan hendaknya Anda mengikuti panduan pembelajaran memilih yang disampaikan oleh Penghubung Karya Kerasulan Kemasyarakatan Keuskupan Agung Semarang (PK4AS).

Saudari-saudara yang terkasih,

Terdorong oleh rasa tanggungjawab kami di hadapan Tuhan, umat dan masyarakat, serta masa depan Bangsa dan Negara Indonesia, maka saya menyerukan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, semua umat di Keuskupan Agung Semarang yang sudah mempunyai hak pilih untuk tidak lari dari tanggungjawab menyukseskan pemilu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pilihan GOLPUT merupakan pilihan tidak bijaksana. Karena pilihan kita sangat menentukan bagi proses perjalanan bangsa ini 5 tahun ke depan dan selanjutnya. Kami memandang suara Anda sangat menentukan, karena satu suara Anda memiliki makna yang sangat besar bagi masa depan bangsa.

Kedua, kepada semua partai politik (parpol) dan para calon legislatif (caleg) serta pasangan calon Presiden-Wakil Presiden yang berkontestasi dalam pemilu ini supaya memegang teguh tatakrama dan aturan pemilu yang berlaku dengan kesadaran bahwa kesejahteraan rakyat adalah pegangan yang utama.

Ketiga, semua pihak yang turut serta dalam kampanye, supaya melakukan kegiatan kampanye dalam suasana kekeluargaan dan berdasarkan kesadaran, bahwa kita berkewajiban menjaga keutuhan Negara Kesatuan berdasarkan Pancasila; bukan sebaliknya saling menjelekkan, saling menjatuhkan, saling menghujat, saling memfitnah dan menyebarkan berita-berita bohong. Kampanye hendaknya dimanfaatkan sebagai bagian pendidikan politik untuk memperkenalkan visi, misi, serta program kerja dan untuk mencerdaskan masyarakat.

Keempat, hendaknya KPU dan Bawaslu beserta seluruh jajarannya sebagai penyelenggara pemilu memastikan menyelenggarakan pemilu serentak 2019 dengan menjunjung tinggi sifat hakikinya, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber jurdil). Termasuk memastikan penyelenggara pemilu yang terikat pada kode etik penyelenggara pemilu guna menjunjung tinggi prinsip-prinsip pelaksanaan pemilu. Pemerintah dan aparat keamanan harus mencegah segala macam intimidasi dan ancaman dari manapun atau oleh siapapun juga kepada masyarakat pemilih dan para penyelenggara pemilu, baik yang bersifat paksaan fisik maupun moril, dan menghindarkan segala macam manipulasi serta perbuatan curang baik sebelum, selama maupun sesudah pemungutan suara.

Akhirnya, Saudari dan Saudaraku yang terkasih,

Kami mengajak Anda semua untuk meneruskan pendidikan politik dengan mengawal, mendampingi, mengingatkan, dan menuntut mereka yang kita pilih agar tetap berusaha mewujudkan keadilan sosial bagi semua. Mereka kita pilih bukan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, tetapi untuk kepentingan bersama bangsa.

Marilah kita jadikan pemilu ini peristiwa kebangsaan yang menggembirakan dan memerdekakan bukan menakutkan dan menciptakan ketidakpastian. Kami sungguh berharap bahwa cinta Tanah Air dan persaudaraan sebagai Bangsa Indonesia harus kita tempatkan di atas segala kepentingan pribadi dan kelompok/golongan. Aspirasi politik dan pilihan boleh berbeda, tetapi INDONESIA adalah kita.

Selamat menggunakan hak pilih Anda. Tuhan memberkati kita semua. Berkah Dalem.


Semarang, 5 Februari 2019


† Mgr. Robertus Rubiyatmoko
Uskup Agung Semarang

Jumat, 15 Februari 2019

thumbnail

Musik/nyanyian dalam Perayaan Pemberkatan Perkawinan

Pemberkatan perkawinan merupakan salah satu perayaan sakramen yang  sedapat mungkin dirayakan dalam bentuk yang dinyanyikan (Musicam Sacram [MS] 43). Alasan yang melatar-belakangi anjuran ini adalah pemberkatan perkawinan merupakan perayaan komuniter yang menekankan kehadiran dan partisipasi aktif dari umat. Maka, musik] nyanyian pedu mendapat perhatian penting dalam persiapan dan pelaksanaan pemberkatan perkawinan. Dengan memberikan perhatian pada musik dan nyanyian, perayaan pemberkatan perkawinan kiranya dapat menjadi perayaan yang agung dimana doa-doanya dapat diungkapkan secara lebih menarik dan misteri perayaannya dapat dinyatakan acara lebih jelas serta kesatuan hati umat dapat dicapai lebih mendalam dan diarahkan menuju haI-hal surgawi (bdk. MS 5).

Perayaan yang agung di atas, sayangnya sering diciderai dengan penggunaan sejumlah musik/nyanyian sekular. Tidak jarang terjadi, sejumlah musik/nyanyian rohani/pop rohani, bahkan nyanyian pop sekular dipergunakan dalam perayaan yang agung ini. Jenis: musik/nyanyian rohani atau pop rohani, kendati di dalamnya terkandung unsur religius, sesungguhnya bukanlah jenis musik dan nyanyian yang sesuai untuk diterapkan dalam perayaan pemberkatan perkawinan. Musik/nyanynan rohani/pop rohani tidak sejajar dengan nyanyian liturgi. 

Musik/nyanyian rohani adalah nyanyian yang diciptakan untuk kepentingan di luar peribadatan resmi Gereja… Musik/nyanyian ini normalnya ditujukan untuk kegiatan kegiatan rohani seperti retret, rekoleksi, kegiatan-kegiatan devosional, pertemuan-pertemuan katekese atau bahkan dalam acafa santai. Musik nyanyian rohani umumnya bersifat individual yang umumnya diwakili melalui syair “aku”. Ciri-ciri tersebut tentunya berbeda dengan musik/nyanyian liturgi, Musik/nyanyian liturgi adalah nyanyian yang diciptakan bagi kepentingan peribadatan resmi Gereja. Musik/nyanyian liturgi memiliki sifat komuniter/eklesial yang sering ditampakkan melalui ungkapan “kami/kita". Hal ini sejalan dengan sifat perayaan sendiri yang adalah komuniter/eklesial. 

 Hingga akhir tahun 2017, keberadaan nyanyian-nyanyian untuk pemberkatan perkawinan dalam buku-buku nyanyian yang dikeluarkan secara resmi memang sangat terbatas. Jika dilihat dalam buku Puji Syukur edisi induk. jumlah nyanyian yang diperuntukkan untuk pemberkatan perkawinan hanya '7 judul nyanyian sementara buku Madah Bakti hanya menyediakan 8 nyanyian perkawinan dengan tambahan 5 nyanyian inkulturatif. Kenyataan ini menunjukkan bahwa nyanyian perkawinan masih sangat minim. Kendati demikian, situasi tersebut bukan menjadi alasan untuk boleh dipergunakannya nyanyian “A Thousand Years” yang dipopulerkan oleh Christina Perri sebagai nyanyian pembuka dalam perayaan perkawinan atau nyanyian “Kasih-Nya seperti Sungai” sebagai pengganti Mazmur Tanggapan atau nyanyian “From This Moment” yang dipopulerkan oleh Shania Twain sebagai nyanyikan sebelum kedua mempelai menyatakan janji setianya. Ketiga nyanyian tersebut bukanlah nyanyian liturgi. Nyanyian “Kasih-Nya seperti Sungai” adalah nyanyian rohani yang tidak pernah dapat menggantikan Mazmur Tanggapan. Sementara nyanyian “A Thousand Years” dan “From This Moment" adalah nyanyian pop sekular yang tidak seharusnya dicomot dan disisipkan dalam pemberkatan perkawinan hanya demi memenuhi permintaan mempelai. Maka dari itu, kehadiran buku NLP sugguh: menjadi sarana yang dapat menambah khazanah nyanyian liturgi perkawinan da sekaligus menjadi acuan dalam memilih nyanyian yang tepat dalam perayaan pemberkatan perkawinan.

Catatan: artikel ini merupakan tema ke-6 dari bahan katekese pada Bulan Liturgi Nasional (BLN) 2018. 
Oleh RP. Cornelius Trichandra, OFMConv.

Selasa, 12 Februari 2019

thumbnail

Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen: Pengantar Redemptionis Sacramentum oleh Kardinal Francis Arinze

Instruksi Pelaksana VI tentang sejumlah hal yang perlu dilaksanakan ataupun dihindari berkaitan dengan Ekaristi Mahakudus. Dikeluarkan oleh Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen pada Hari Raya Kabar Sukacita kepada St. Perawan Maria, 25 Maret 2004  dapat dilihat melalui tautan berikut:

atau membeli bukunya di toko buku Katolik. 


Berikut kami bagikan lampiran pengantar Redemptionis Sacramentum yang tidak tersedia di web www.imankatolik.or.id , namun dapat dibaca pada buku Redemptionis Sacramentum.

LAMPIRAN:
Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen

PENGANTAR REDEMPTIONIS SACRAMENTUM

(tentang sejumlah hal yang perlu dilaksanakan ataupun dihindari berkaitan dengan Ekaristi Mahakudus)*

l. Asal Usul Instruksi Ini


Pertama-tama akan membantu apabila Instruksi ini didudukkan pada tempatnya. Dalam Misa Perjamuan Malam Terakhir pada hari Kamis Putih di Basilika St. Petrus, pada 17 April 2003, Bapa Suci menandatangani dan memberikan kepada Gereja ensikliknya yang ke-14, Ecclesia de Eucharistia.

Dalam dokumen yang bagus ini, Paus Yohanes Paulus II menyatakan, antara lain, bahwa Ekaristi Mahakudus ada pada pusat kehidupan Gereja (No. 3), bahwa Ekaristi menyatukan surga dan bumi. Ekaristi merangkul dan meresap pada semua ciptaan (No. 8), dan Ekaristi adalah milikyang paling berharga yang dapat dipunyai Gereja dalam perjalanannya sepanjang sejarah (No. 9).

Sekaligus Paus menyatakan bahwa sejak Konsili Vatikan kedua ada perkembangan positif dan negatif dalam perayaan dan ibadat (No. 10), bahwa sejumlah penyelewengan telah menjadi sumber penderitaan bagi banyak orang dan Sri Paus menganggap itu sebagai kewajibannya untuk menyerukan dengan segera bahwa norma-norma liturgi untuk perayaan Ekaristi ditaati dengan sangat teliti (No. 52). Justru untuk lebih menandaskan makna lebih mendalam norma=norma liturgi ini, lanjutnya, Saya telah meminta lembaga yang berwewenang dari Kuria Roma untuk menyiapkan suatu dokumen yang lebih khusus, termasuk ketentuan-ketentuan yuridis mengenai masalah yang sangat penting ini. Tidak seorang pun diperkenankan merendahkan misteri yang dipercayakan pada kita: misteri ini terlalu agung bagi siapa pun untuk leluasa memperlakukan Ekaristi dengan sembarangan serta mengabaikan kesucian dan keuniversalannya (No. 52).

Inilah asal usul dari lnstruksi yang dipersembahkan kepada Gereja Latin oleh Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen dalam kerja samanya yang erat dengan Kongregasi Ajaran Iman.

2. Alasan-alasan untuk Norma-norma Liturgi

Seseorang mungkin bertanya mengapa harus ada normanorma liturgi. Apakah kreativitas, spontanitas, kebebasan anak-anak Allah serta pengertian yang sangat baik tidaklah cukup? Mengapa penyembahan kepada Allah harus diatur oleh rubrik-rubrik dan peraturan-peraturan? Apakah tidak cukup kalau hanya mengajarkan kepada umat keindahan dan keagungan liturgi?

Norma-norma liturgi perlu karena dalam liturgi dilaksanakan kebaktian umum seutuhnya oleh Tubuh Mistik Yesus Kristus, yakni oleh Kepala dan anggotasanggotanya. Oleh sebab itu, setiap perayaan liturgi, sebagai karya Kristus selaku kepala dan karya Gereja selaku tubuh-Nya, adalah tindakan kudus yang paling utama (Konstitusi Liturgi, No. 7). Dan puncak liturgi adalah perayaan Ekaristi. Tak seorang pun perlu terkejut apabila, dalam perjalanan waktu, Bunda Kudus, Gereja, telah mengembangkan kata-kata dan tindakan-tindakan, dan juga arahan-arahan, bagi sikap penyembahan yang agung. Normanorma Ekaristi dimaksudkan untuk mengungkapkan dan melindungi misteri Ekaristi dan juga menjelaskan bahwa Gerejalah yang merayakan sakramen dan pengorbanan yang agung. Sebagaimana yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II, norma-norma ini adalah ungkapan konkret dari kodrat gerejawi otentik mengenai Ekaristi; inilah maknanya yang terdalam. Liturgi tak pernah menjadi milik pribadi perorangan, baik dari selebran maupun komunitas, tempat misterimisteri dirayakan (Ecclesia de Eucharistia, No. 52).

' Hal ini berarti bahwa para lmam yang merayakan Misa dengan setia seturut norma-norma liturgi, dan komunitas-komunitas yang mengikuti norma-norma itu, dengan tenang namun lantang memperagakan kasih mereka terhadap Gereja (Ibid.).

Jelaslah bahwa penyesuaian lahiriah tidak cukup. Iman, harapan dan kasih yang juga terungkap dalam tindakan solidaritas terhadap kaum miskin dituntut lewat partisipasi dalam Ekaristi Mahakudus. Instruksi ini menggarisbawahi dimensi ini dalam artikel 5: Ketaatan lahiriah melulu terhadap norma-norma tentu saja bertentangan dengan semangat Liturgi Suci, di dalamnya Kristus sendiri ingin mengumpulkan Gereja-Nya sedemikian rupa, sehingga bersama dengan-Nya, Gereja itu merupakan satu tubuh dan satu roh. Karena itu, pun tata cara lahiriah harus diterangi oleh iman dan kasih, melaluinya kita dipersatukan dengan Kristus dan satu sama lain; melaluinya juga kita memupuk cinta akan orang yang miskin dan tersingkir.

3. Pentingkah Memberi Perhatian pada Penyelewengan-penyelewengan?


Suatu kelompok godaan yang harus dilawan adalah anggapan bahwa menaruh perhatian terhadap penyelewengan-penyela wengan liturgi hanyalah membuang-buang waktu saja. Ada orang yang menulis bahwa penyelewengan selalu ada dan akan selalu ada, karena itulah kita harus bertahan pada pendidikan dan perayaan liturgi yang positif.

Keberatan ini, sebagian benar, tetapi dapat juga agak menyesatkan. Semua penyelewengan mengenai Ekaristi Mahakudus tidak sama bobotnya. Ada yang mengancam keabsahan Sakramen. Ada yang merupakan perwujudan kekurangan dalam iman akan Ekaristi. Ada pula yang membingungkan umat Allah serta menambah desakralisasi yang meningkat dalam perayaan Ekaristi. Anggapan-anggapan tersebut tidak dangkal.

Tentu saja pendidikan liturgi sangat diperlukan dalam Gereja. Dari sebab itu sangatlah perlu, kata Konsili Vatikan II, bahwa pertama-tama pendidikan liturgi para klerus dimantapkan (Konstitusi Liturgi, No. 14). Namun adalah benar juga bahwa di banyak bagian dari Gereja, telah terjadi juga penyelewenganpenyelewengan, sampai membingungkan iman yang sehat dan ajaran Katolik mengenai sakramen mengagumkan ini (Ecclesia de Eucharistia, No. 10). Tak jarang penyelewenganpenyelewengan itu bersumber pada salah pengertian mengenai makna kebebasan (Instruksi, No. 7). Perbuatan-perbuatan yang sewenang-wenang itu bukannya jalan menuju pembaruan yang sejati (Instruksi, No. 11) yang diharapkan oleh Konsili Vatikan II. Penyelewengan-penyelewengan tersebut tidak ada hubungannya dengan semangat otentik dari Konsili gerta harus diperbaiki secara bijaksana dan sungguh-sungguh oleh para pastor (Paus Yohanes Paulus II: Surat Apostolik dalam rangka Peringatan 40 tahun Konstitusi Liturgi, Spiritus etSponsa, No. 15)

Bagi mereka yang mengubah teks-teks liturgi atas wewenangnya sendiri, perlu untuk memperhatikan Instruksi ini bahwa Liturgi Suci berhubungan erat dengan dasar-dasar ajaran iman, sehingga penggunaan teks-teks dan tata cara yang tidak disahkan, dengan sendirinya akan menyebabkan merosotnya ataupun hilangnya hubungan yang mutlak perlu antara Iex orandi (hukum doa) dan Iex credendi (hukum iman) (Instruksi, No. 10).

4. Ikhtisar dari Instruksi

Instruksi ini terdiri dari Pengantar, delapan bab isi, dan kesimpulan.

Dalam bab pertama tentang peraturan Liturgi Suci dibicarakan mengenai peranan Takhta Apostolik, Uskup Diosesan, Konferensi para Uskup, para Imam dan para Diakon. Saya mengkhususkan peranan Uskup Diosesan. Ia adalah Imam besardi antara kawanannya. Ia memberikan arahan, dorongan, mengembangkan serta mengatur. Ia memantau musik kudus dan seni. Ia membentuk komisi-komisi yang diperlukan untuk liturgi, musik dan kesenian kudus (Instruksi, No. 22, zs). la mengupayakan pemulihan atas penyelewengan-penyelewengan dan kepada beliau atau pembantunyalah pertamatama harus memberikan pertolongan, dan bukannya kepada Takhta Apostolik (Instruksi, No. 176-182, 184).

Para Imam juga membuat janji untuk menjalankan jabatan mereka dengan setia, sebagaimana halnya para Diakon. Mereka diharapkan untuk hidup sesuai dengan tanggung jawab suci mereka.

Bab kedua mengkhususkan partisipasi umat awam dalam Perayaan Ekaristi. Pembaptisan adalah landasan bagi imamat umum (Instruksi, No. 36, 37). Namun, Imam yang ditahbiskan tetap sangat diperlukan dalam suatu komunitas Kristiani; dan peranan Imam dan umat awam tidak boleh dikacaukan (Instruksi, No. 42, 45). Umat awam memiliki peranan mereka pada tempatnya. Instruksi menekankan bahwa hal ini tidak berarti bahwa setiap orang harus melakukan sesuatu. Hal ini lebih merupakan suatu persoalan untuk menjadi sungguhsungguh hidup sesuai dengan hak-hak istimewa yang telah diberikan Tuhan yang memanggil mereka untuk berpartisipasi dengan budi dan hati serta seluruh kehidupan mereka dalam liturgi agar melalui ini mereka menerima rahmat Tuhan. Penting untuk memahami hal ini dengan benar dan jangan menganggap bahwa Instruksi ini semata-mata mengabaikan umat awam.

Bab 3, 4, 5 mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kadang-kadang diajukan dan untuk memusatkan perhatian pada penyelewengan-penyelewengan yang ada sehubungan dengan perayaan Misa yang sesungguhnnya, mengenai siapa yang menerima Komuni Kudus dan siapa yang tidak, himbauan pada saat menerima Komuni Suci dalam dua rupa serta masalah mengenai jubah dan bejana-bejana, posisi tubuh pada saat menerima Komuni Suci dan semacamnya.

Bab 6 adalah mengenai penyembahan Ekaristi Mahakudus di luar Misa. Hal ini mengenai penghormatan kepada tabernakel serta praktik-praktik seperti kunjungan-kunjungan ke Sakramen Mahakudus, Kapel sembah sujud abadi, dan Prosesi Ekaristi serta Kongres Ekaristi (Instruksi, No. 130, 135-136,140,142-145).

Bab 7 memberikan perhatian kepada lembaga khusus yang dipercayakan kepada kaum awam, seperti para pelayan tak lazim kaum awam untuk Komuni Suci, para pelatih atau pemimpin pelayanan doa pada saat tidak ada Imam (Instruksi No. 147-169). Peranan-peranan ini berbeda dari yang diutarakan pada Instruksi bab 2. yang mengutarakan keterlibatan biasa kaum awam dalam liturgi, dan khususnya dalam perayaan Ekaristi. Bab 7 ini memuat hal-hal yang berkaitan dengan umat awam yang terpanggil untuk melayani di saat Imam atau Diakon tidak ada. Pada tahun-tahun belakangan ini, Takhta Suci telah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap masalah ini, dan Instruksi ini turut mendukung seraya menambahkan pertimbangan-pertimbangan lebih jauh dalam situasi tertentu.

Bab terakhir mengenai tindakan-tindakan pemulihan kanonik terhadap kejahatan-keiahatan atau penyelewengan-penyelewengan terhadap Ekaristi Mahakudus. Tindakan pemulihan utama untuk jangka panjang adalah pendidikan dan petunjuk yang benar serta iman yang teguh. Namun, ketika penyelewengan-penyelewengan terjadi, maka Gereja berkewajiban untuk mengingatkan mereka dalam cara yang jelas dan murah hati.

Kesimpulan

Memperhatikan artikel mengenai iman bahwa Misa adalah representasi sakramental dari Kurban Salib (bdk. Konsili Trente DS 1740) dan bahwa dalam Sakramen yang mahasuci, yaitu Ekaristi, Tubuh dan Darah, bersama dengan jiwa dan raga Tuhan kita Yesus Kristus, sehingga Kristus secara utuh adalah benar, nyata dan sungguh-sungguh ada (Konsili Trente: DS 1651; bdk. KHK 1374), jelaslah bahwa norma-norma liturgi sehubungan dengan Ekaristi Mahakudus layak mendapatkan perhatian kita. Norma-norma tersebut bukanlah mbrika rubrik sembarangan yang didikte oleh pikiran bengkok secara hukum.

Ekaristi Mahakudus memuat seluruh kekayaan rohani Gereja, yaitu Kristus sendiri, roti kita yang telah wafat namun hidup (Presbyterorum Ordinis, 5). Para Imam dan Uskup ditahbiskan terutama untuk merayakan kurban Ekaristi dan mempersembahkan Tubuh dan Darah Kristus kepada orang beriman. Para Diakon, dengan caranya sendiri, akolit, pelayan-pelayan lain, lektor, paduan suara dan umat awam yang ditugaskan secara khusus diingatkan kembali untuk membantu dalam tugas-tugas tertentu. Mereka harus melaksanakan pelayanan mereka yang beragam dengan iman dan devosi. '

Karena itu, Instruksi menyimpulkan bahwa Kongregasi Ibadat dan Tata-tertib Sakramen berharap bahwa dengan menerapkan secara saksama segala sesuatu yang diingatkan dalam Instruksi ini, kelemahan manusiawi semakin tidak lagi menjadi rintangan bagi penghayatan Sakramen Mahakudus itu, dan bahwa dengan meng-hindarkan segala penyelewengan dan praktik yang salah, berkat pengantaraan Santa Perawan Maria, Bunda Ekaristi, kehadiran Kristus dalam Sakramen Tubuh dan Darah-Nya yang menyelamatkan itu, akan menyinari semua orang (Instruksi, No. 185).

Kardinal Francis Arinze 23 April 2004 


* Diterjemahkan oleh Maxi Paat dari artikel: Introducing 99 Redemptionis Sacramentum (On certain matters to be observed or to be avoided regarding the Most Holy Eucharist). Artikel ini diambil dari: http://www. vatican.va/roman_curia/congregations/ccdds/documents/rc_con__ ccdds_doc_20040423_present-card-arinze__en.html