Rabu, 15 Agustus 2018

thumbnail

MADAH KEMULIAAN: Lima tindakan umat di hadapan Kemuliaan yang besar

Dalam madah Kemuliaan ditunjukkan lima tindakan umat di hadapan kemuliaan Allah yang besar: memuji, meluhurkan, menyembah, memuliakan, dan bersyukur. Kelima tindakan ini termuat dalam salah satu kitab Deuterokanonika, yaitu Kitab Tambahan Daniel (3:51-90) yang memuat madah pujian Azarya dan kedua sahabatnya kepada Allah ketika berada di dalam tanur api. Apa maksud dari kelima tindakan tersebut?

- Memuji (Latin: laudare; Ibrani: Hallel, bdk. 1 Taw 29:12-13). Memuji Allah berarti melambungkan pujian atas dasar rasa kagum akan Allah yang mahabesar dan mahakuasa.

- Meluhurkan (Latin: benedicere). Jika mengacu pada akar katanya, meluhurkan berarti berarti berbicara atau menyerukan sesuatu yang baik tentang Allah (bene: baik; dicere: berbicara, bdk. Tob 8:17). Mungkin searti dengan kata "memberkati". Dan lawan kata dari meluhurkan atau memberkati ini adalah mengutuk (Latin: maledicere). Kata "memuji" dan "meluhurkan" pada dasarnya saling berkaitan. Sebab, ketika memuji Allah, mat secara tidak langsung berbicara baik tentang Allah. Di hadapan kemuliaan Allah, hanyalah kata-kata baik yang seharusnya dihaturkan kepada Allah.

- Menyembah (Latin: adorare). Dalam Perjanjian Lama kata ini kerap dikaitkan dengan upacara peribadatan. Di Bait Allah, di mana kemuliaan TUHAN terlihat nyata, bangsa Israel datang untuk menyembah-Nya. Dalam salah satu perikop Injil Yohanes tentang dialog dengan perempuan Samaria, Yesus menggunakan kata "menyembah" (adorare, versi vulgata) ketika menyinggung soal peribadatan di gunung di Samaria (Gerizim) maupun di gunung di Yerusalem (SIon) (Yoh 4:21-22)

- Memuliakan (Latin: glorificare). Kata ini masih berkaitan dengan kata memuji dan meluhurkan. Memuliakan berarti menjunjung tinggi dan menaruh rasa hormat. Ini adalah tindakan terpuji ketika berhadapan dengan TUHAN, Sang Pencipta.

- Bersyukur (Latin: agere gratia). Ini tindakan terakhir umat beriman di hadapan Allah. Bersyukur berarti mengembalikan segala kebaikan yang dianugerahkan Tuhan kepada kita. Dalam madah dikatakan, "kami bersyukur karena kemuliaan-Mu yang besar". Dalam konteks ini, kemuliaan Allah yang besar di sini menunjuk pada kehadiran Allah yang menganugerahkan kebaikan, menaruh perhatian dan memelihara manusia. Atas semuanya itu, sudah seharusnya manusia itu bersyukur dan berterima kasih kepada Allah.

(Sumber: Ditulis oleh RP. Albertus Purnomo, OFM; Majalah Liturgi Vol. 29 No. 2, hal 24-25, selengkapnya dapat dibaca di Majalah Liturgi edisi tersebut)

Rabu, 01 Agustus 2018

thumbnail

Acara lain di panti imam setelah Doa Sesudah Komuni


Ilustrasi Foto: Gereja Katolik St. Pius X, Granger - Indiana
PERTANYAAN:

Romo, apakah setelah Doa Sesudah Komuni kita boleh menampilkan acara lain di panti imam? Apakah pada misa ulang tahun pastor paroki, setelah Doa Sesudah Komuni, seorang anak boleh tampil di atas panti imam membacakan puisi ulang tahun? (Sr. Luisa Anin, PI, Yogyakarta)

JAWABAN:

Sr. Luisa yang terkasih. Ekaristi merupakan pusat seluruh hidup kristiani. Tiap-tiap orang beriman terlibat di dalamnya (bdk. Konstitusi Liturgi no. 26). Ada yang berperan sebagai pemimpin, pemazmur, kor, lektor, akolit, misdina, dan sebagainya. Dengan cara ini umat kristiani menunjukkan jenjang-jenjangnya menurut susunan hirarki yang rapi (Misale Romawi, Petunjuk Umum no.91). Gereja telah menentukan tempat peran para petugas liturgi. Misalnya tempat liturgi sabda adalah mimbar sabda. Lektor, pemazmur, pembaca injil, pembawa homili dan pembawa doa umat melaksanakan tugas mereka di mimbar sabda. Maka disayangkan apabila imam tidak berhomili di mimbar sabda meskipun mimbar sabda itu baik dengan mikrofon yang bagus pula, tetapi lebih memilih berjalan kian kemari di panti imam bahkan berjalan menyusuri lorong di antara tempat duduk umat sambil berhomili. Setiap petugas liturgi berperan menurut peran dan tempat yang diperuntukkannya. Baik kaum tertahbis maupun tidak tertahbis berperan dalam liturgi berdasarkan tugasnya yang khas.

Mengenai praktik membawakan acara seperti di panggung hiburan setelah Doa Sesudah Komuni, perlu kita melihatnya secara cermat berdasarkan pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Apakah acara yang dibawakan itu merupakan bagian dari liturgi itu sendiri? Apakah mereka (pembawa acara) termasuk kalangan petugas liturgi? Apakah selama misa, panti imam dapat dijadikan tempat yang baik untuk menampilkan acara? Apakah dengan selesainya Doa Sesudah Komuni kita boleh menganggap bahwa misa sudah berakhir sehingga boleh saja menjadikan panti imam sebagai panggung hiburan?

Tentu acara seperti itu bukan bagian dari liturgi. Pembawa acara tidak termasuk dalam kalangan petugas liturgi. Bayangkan petugas liturgi saja tidak sembarangan berdiri di panti imam. Ia hanya berada di panti imam pada saat melaksanakan tugasnya. Lalu dia yang bukan petugas liturgi (pembawa acara) seenaknya menempati panti imam untuk menampilkan hal yang bukan bagian dari liturgi. Di beberapa gereja, anak kecil saja diberi tempat yang khusus di dalam gereja agar tidak bebas berjalan kian kemari sampai panti imam, oleh karena kekhususan panti imam. Lalu kita seenaknya membiarkan orang menampilkan acara hiburan di sana. Di manakah ketegasan kita? Kita bersikap tegas terhadap anak kecil, kita juga bersikap tegas terhadap fotografer agar tidak menempati panti imam waktu memotret, lalu mengapa kita tidak bersikap tegas juga terhadap orang-orang yang menjadikan panti imam pada waktu misa sebagai panggung hiburan.

Panti imam adalah tempat yang khusus, "tempat imam serta pelayan-pelayan lain melaksanakan tugas" (PUMR no. 295). DI Gereja Timur, panti imam bahkan disekat setinggi kira-kira 1 meter agar terpisah dari umat dan tidak sembarang orang menempati atau memasukinya.

Kita semua tahu bahwa misa berakhir setelah berkat penutup. Berakhirnyam isa itu pun disampaikan secara resmi oleh imam atau diakon dengan mengatakan: "Misa sudah selesai". Maka anggapan bahwa setelah Doa Sesudah Komuni kita boleh menampilkan acara hiburan atau potong nasi tumpeng/kue ulang tahun dan kemudian saling suap, dan lain sebagainya, adalah anggapan yang tidak tepat karena masih dalam suasana misa. Sebaiknya kita semua menghindari bahaya "profanisasi" misa (bdk Redemptionis Sacramentum no. 78). Para petugas pastoral berusahalah dengan tekun untuk memperbaiki pendapat atau praktek-praktek yang dangkal itu, yang kadang terjadi.

Bagi kita, gereja itu monofungsi, tempat untuk merayakan sakramen-sakramen dan berdoa, "tempat yang diperuntukkan bagi ibadat ilahi" (Kitab Hukum Kanonik kan.1214), "tempat yang dikhususkan bagi pertemuan dengan Tuhan" (Iman Katolik hal.165). Kecuali dalam keadaan darurat, gereja dapat dipakai sebagai tempat pengungsian dan sebagainya. Gereja bukan multifungsi dimana berbagai kegiatan boleh dilaksanakan di sana. Karena itu kita mengadakan/mendirikan aula dengan maksud sebagai tempat pelaksanaan berbagai kegiatan yang bukan liturgi dan untuk menghindari penyalahgunaan gereja.

Sebaiknya sejak dini kita mendidik anak-anak kita untuk mampu membedakan dan memperlakukan secara tepat panti imam dan panggung hiburan. Pendidikan yang baik bagi mereka ialah melalui teladan dari kita para petugas liturgi, imam dan umat beriman. Kita perlu menghindari acara yang bersifat hiburan dalam perayaan liturgi demi menjaga keagungan liturgi suci dan agar perayaan liturgi tidak kehilangan artinya yang otentik. Acara hiburan seperti puisi, tarian, lagu pop, potong kue ulang tahun dan sebagainya, kita tempatkan saja di luar misa dan di aula atau hotel yang sudah dipesan untuk acara resepsi. Semoga makin hari, perlakuan kita terhadap Ekaristi makin sesuai dengan tujuan pengadaannya oleh Yesus Kristus Tuhan kita. Sr. Luisa, demikian penjelasan dari saya. Harap bermanfaat. Terima kasih.

RD Yohanes Rusae
Sekretaris Komisi Liturgi KWI

(Majalah Liturgi Vol. 29 - No 2)

Anda yang berminat berlangganan majalah Liturgi dapat menghubungi 0213153912, 3154714, SMS: 0815 1080 8853. E-mail malitkwi(at)yahoo.com. Pengganti ongkos cetak Rp 20.000,-/eksemplar